IKLAN PENELITIAN IAIN TENTANG DAKWAH JAMAAH TABLIGH
Syeikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1885-1944 M) pendiri Jama’ah Tabligh
dilahirkan di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades,
India. Ia adalah pengikut tariqat Chistiyyah dari cabang Sabiriyyah,
namun ia tidak bergantung kepada ajaran tariqat ini saja melainkan turut
memanfaatkan ajaran dari tariqat lain seperti Naqshabandiyyah,
Qadiriyyah dan Suhrawardiyyah. Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Ismail
adalah seorang ruhaniwan besar dan seorang penganut tasawwuf yang sangat
abid dan zahid. Dia telah mengabdikan hidupnya dalam ibadah dan tidak
lagi terlalu disibukkan dengan urusan dunia yang suka menjalani hidup
dengan ber-uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Alquran serta
mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Ibunya bernama Shafiyah
Al-Hafidzah adalah seorang Hafidzah Alquran. Keluarga Maulana Muhammad
Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama. Saudaranya antara lain Maulana
Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya.
Pada tahun
1351 H/1931 M, ia menunaikan haji yang ketiga ke Tanah Suci Makkah.
Kesempatan tersebut dipergunakan untuk menemui tokoh-tokoh India yang
ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah. Sepulang dari haji, Maulana
mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jamaah dengan
jumlah sekitar seratus orang. Dalam kunjungan tersebut ia selalu
membentuk jamaah-jamaah yang dikirim ke kampung-kampung untuk ber-jaulah
(berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama.
Ia sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat
agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan.
Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, ia pulang ke rahmatullah
sebelum adzan Shubuh. Ia tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan
tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran ia dituang dalam
lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani
dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan
seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Sepeninggal Syeikh
Muhammad Ilyas Kandahlawi kepemimpinan JT diteruskan oleh puteranya,
Syeikh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917 – 1965 M).
Jama’ah
Tabligh muncul di India dilatarbelakanngi keadaan umat Islam India yang
saat itu sedang mengalami kerusakah akidah, dan degradasi moral yang
dahsyat. Ummat Islam telah tidak akrab lagi dengan syiar-syiar Islam. Di
samping itu, juga terjadi pencampuran antara yang baik dan yang buruk,
antara iman dan syirik, antara sunnah dan bid’ah. Lebih dari itu, juga
telah terlah terjadi gelombang pemusyrikan dan pemurtadan yang didalangi
oleh para misionaris Kristen di mana Inggris saat itu sedang bercokol
menjajah India.
Gerakan misionaris yang didukung Inggris dengan
dana yang sangat besar berusaha membolak-balikkan kebenaran Islam,
dengan menghujat ajaran-ajarannya dan mendiskreditkan Rasulullah saw.
Bagaimana membendung kristenisasi dan mengembalikan kaum Muslimin yang
“lepas” ke dalam pangkuan Islam? Itulah yang menjadi kegelisahan
Muhammad Ilyas.
Maulana Muhammad Ilyas menghawatirkan kondisi
umat, khususnya di daerah Mewat yang semakin jauh dari nilai-nilai Islam
dan mengarah kepada kondisi masyarakat jahiliah yang ditandai antara
dengan:
Kemusyrikan
Meninggalkan ibadah
Mesjid tidak lagi berfungsi sebagai pusat dakwah dan agama
Kerusakan akhlak
Perbuatan maksiat yang semakin menyebar
Hal ini kemudian menguatkan i‘tikadnya untuk berdakwah yang kemudian
diwujudkannya dengan membentuk gerakan jama’ah pada tahun 1927 yang
bertujuan untuk mengembalikan masyarakat dalam ajaran Islam. Guna menata
kegiatan jama’ah ini dibentuklah suatu garis kerja dakwah jama’ah yang
disebut hirarki, yang berbeda dari organisasi dakwah lainnya, yang
kemudian dikenal dengan gerakan Jama’ah Tabligh.
Dalam Jamaah ini dikenal enam prinsip (doktrin) yang menjadi asas dakwahnya, yaitu:
Kalimah agung (syahadat) atau disebut sebagai Kalimah Ţayyibah.
Menegakkan salât.
Ilmu dan dzikir.
Memuliakan setiap Muslim.
Ikhlas.
Berjuang fisabilillah (keluar/khuruj).
Sejarah awal masuknya Jama’ah Tabligh ke Indonesia terdiri dari dua
versi. Versi pertama: menurut Letkol CPM Purn. Ahmad Zulfakar, Jama’ah
Tabligh dibawa oleh seorang amir bernama Miaji Isa pada tahun 1952 di
Jakarta dan berkembang pada tahun 1974 di Kebon Jeruk. Kemudian
berkembang luas ke penjuru nusantara. Versi kedua, Jama’ah Tabligh
dibawa oleh Maulana Luthfi ur-Rahman dari Banglades pada tahun 1973
dalam kegiatan Khurujnya keliling Indonesia. Ia singgah di Tanjung
Karang, diterima dengan baik oleh pengurus mesjid al-Abror Jl. Pemuda
No. 20 Tanjung Karang, Lampung. Kemudian dilanjutkna oleh Dr. Abdul Hay,
Dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Ahmad Sabuur, Dr. Salman dari Universitas
Alighard India.
Perkembangan Jama’ah Tabligh di Medan diawali
dengan kedatangan Maulana Muhammad Ibrahim (yang sampai saat ini masih
tetap menaruh perhatian besar atas perkembangan Jama’ah Tabligh) dari
Banglore, India pada tahun 1971. Saat tiba di Medan ia disambut oleh
masyarakat Medan dengan baik. Salah seorang yang sangat tertarik dengan
tabligh ini adalah Haji Jalaluddin, sehingga dalam menyampaikan
dakwahnya Maulana Ibrahim selalu ditemani oleh Haji Jalaluddin. Mereka
kemudian membangun Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah Medan, yang
kemudian menjadi pusat/markas Jama’ah Tabligh Medan. Maulana Ibrahim
kemudian mencurahkan ilmunya pada Haji Jalaluddin, dan setelah ia yakin
bahwa Haji Jalaluddin mampu mengembangkan Jama’ah Tabligh di Medan ia
pun kembali ke negara asalnya. Haji Jalaluddin kemudian menjadi amir di
Medan. Setelah ia meninggal jabatan amir diteruskan oleh anaknya Haji
Badruddin.
Pengembangan dakwah yang berkesinambungan dan terus
menerus menghasilkan perkembangan jumlah anggota Jama’ah Tabligh di
Medan. Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah – yang kemudian lebih
dikenal dengan Mesjid Jalan Gajah – menjadi sentra perkembangan jama’ah
ini. Berbagai halaqah kemudian berdiri diberbagai daerah di Medan dan
sekitarnya, misalnya di Tanjung Mulia, Paya Pasir, dan Batang Kuis.
Sampai saat ini sulit untuk memastikan jumlah anggota Jama’ah Tabligh
di Medan. Hal ini karena Jama’ah Tabligh tidak mengenal sistem
formalitas administrasi keanggotaan. Namun yang jelas anggotanya terdiri
dari berbagai tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan mazhab atau
aliran.
Struktur keorganisasi yang formal dan mengikat tidak
dikenal di Jama’ah Tabligh, susunan keorganisasiannya didasarkan pada
hirarki atau garis kerja jama’ah yang terdiri dari:
Hadraji : orang yang dihormati
Majelis syuro dan Zumidar : majelis musyawarah dan penanggungjawab di setiap negara, propinsi, dan kotamadya/kabupaten
Karkun : ahli dakwah pada beberapa mahalla yang senantiasa menghidupkan amal maqomi.
Musyawarah rutin dilakukan oleh setiap halaqah untuk menata kerja
dakwah. Keterkaitan antara halaqah sampai tingkat hadraji dihubungkan
oleh musyawarah mufakat.
Peraturan dalam Jama’ah Tabligh disebut adab atau ushul da’wah – inilah yang menjadi ciri khas Jama’ah Tabligh – yang meliputi:
Empat hal yang diperbanyak: dakwah, taklim, zikir ibadah, khidmat.
Empat hal yang harus dikurangi: makan-minum yang berlebihan,
istirahat/tidur, berbicara yang sia-sia/tidak perlu, keluar/meninggalkan
mesjid.
Empat hal yang harus dijaga: hubungan dengan amir dan
jama’ah lainnya, amalan infiradi dan jama’I, kehormatan mesjid, sabar
dan tahammul (tahan ujian).
Empat hal yang harus ditinggalkan:
meminta kepada yang selain Allah, mengharap kepada yang selain Allah,
menggunakan barang orang lain tanpa izin, boros dan mubajir.
Empat hal yang tidak boleh dibicarakan: politik, ikhtilaf, pangkat dan
kedudukan, kebaikan atau jasa dan aib orang lain/masyarakat.
Aktifitas dan Metode Dakwah Jama’ah Tabligh di Medan
Aktifitas dakwah
Jama’ah Tabligh dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam selalu
mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam Jama’ah Tabligh. Dakwah
mereka sampaikan secara targhib (kabar gembira) yakni dengan memberikan
informasi tentang hal-halyang membahagiakan apabila seseorang menjalani
kehidupan sesuai dengan jalan Allah. Juga sebaliknya dengan tahrib
(ancaman) yakni memberikan informasi tentang bentuk-bentuk penderitaan
yang akan dialami seseorang yang keluar dari tuntunan Ilahi. Dari
berbagai informan yang penulis temui orang-orang yang kemudian bergabung
ke dalam Jama’ah Tabligh merasa peningkatan keimanan dan keislamannya
dan meninggalkan perbuatan maksiat dan sia-sia.
Mereka
mendakwahkan Islam kepada masyarakat tanpa mempersoalkan aliran, mazhab,
dan khilafiah. Memakmurkan mesjid merupakan salah satu aktifitas khas
Jama’ah Tabligh yang dilakukan dalam setiap waktu salât, baik saat
mereka di rumah maupun saat mereka berdakwah keluar. Jama’ah Tabligh
dalam memakmurkan mesjid dengan mengisi amalan mesjid seperti ta’lim wa
ta’lum (mengajar dan belajar) yang biasa dilakukan setelah melaksanakan
salât wajib. Amalan mesjid yang lain yang mereka lakukan bila mukim di
suatu mesjid adalah membaca al-Qur’ân, salât tahajud, salât dhuha, dan
lain-lain. Salât berjama’ah dimesjid merupakan amal yang sangat disiplin
dilakukan oleh Jama’ah Tabligh baik saat berdakwah maupun saat di
rumah. Pada umumnya sebelum azan mereka sudah datang ke mesjid. Bahkan
ada sebagian Jama’ah Tabligh walaupun sedang berada di kenderaan umum
mereka akan segera turun untuk ke mesjid bila mereka mendengar azan
meski ia belum sampai ke tujuannya. Bagi Jama’ah Tabligh salât
berjama’ah hukumnya wajib.
Zikir dan doa merupakan ibadah yang
juga menduduki posisi penting bagi Jama’ah selain salât. Lafaz zikir
yang selalu mereka lakukan adalah istighfar, tahmid, tasbih, takbir dan
tahlil. Berdoa juga mereka lakukan secara teratur untuk membuktikan
bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan
pertolongan Allah. Mereka berdoa dengan memenuhi adab-adabnya, yaitu:
menyesuaikan waktu, tempat dan situasi untuk berdoa, mengangkat tangan,
menghadap kiblat, yakin bahwa doa akan terkabul.
Membudayakan
salam merupakan aktifitas yang selalu dilakukan oleh Jama’ah Tabligh
bukan saja terhadap sesama anggota tetapi juga terhadap sesama Muslim.
Setiap anggota Jama’ah Tabligh dilatih dengan pendekatan praksis untuk
senantiasa beribadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. Mereka
saling mengingatkan satu sama lain tentang pengamalan ibadah-ibadah ini.
Setiap anggota dilatih untuk mampu menyampaikan risalah dakwah tanpa
mengenal batasan tingkat pendidikan formal maupun keluasan ilmu
pengetahuan keislaman yang dimiliki. Bagi Jama’ah Tabligh, berdakwah
bukan hanya dalam batas peribadatan, tetapi juga dengan memberikan
teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam berakhlak.
Dalam
bertutur sapa, Jama’ah Tabligh selalu memulai dengan menyebut asma dan
sifat Allah. Misalnya mengucapkan Insya Allah bila berjanji atau
merencanakan suatu kegiatan, alhamdulillah bila mendapatkan nikmat dan
hal yang menyenangkan mereka atau menyenangkan orang lain, subhanallah
bila mereka salut dan Allah Akbar bila mereka takjub akan kebesaran
Allah. Dalam bertutur kata mereka cenderung randah hati, sopan dan
menghargai pendapat orang lain, tidak cepat marah dan kalimat yang
mereka ucapkan menyenangkan hati. Sedangkan dalam berbincang-bincang
mengenai masalah agama dan dunia mereka seakan pasrah.
Dalam
berpakaian dan berhias Jama’ah Tabligh lebih senang memakai gamis/jubah
yaitu baju panjang sampai ke lutut dan dengan celana yang tidak sampai
mata kaki. Karena mereka beranggapan bahwa memakai celana yang lewat
mata kaki tempatnya di neraka. Jama’ah Tabligh mewajibkan bagi kalangan
wanita mereka untuk menutup auratnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Pakaian ini mereka gunakan dalam semua aktifitas. Selain itu bagi
laki-laki memakai lobe dan serban, namun lobe lebih sering digunakan
untuk semua kegiatan sedangkan serban lebih sering digunakan saat
mendengarkan pengajian. Mereka selalu menggunakan parfum yang bebas
alkohol, menggunakan celak. Dalam menggosok bersugi, selain menggunakan
sikat dan odol mereka juga menggunakan kayu siwak.
Dalam
berjalan Jama’ah Tabligh selalu menundukkan kepalanya, hal ini dilakukan
guna menghindarkan mata dari kemungkinan melihat hal-hal yang mungkar
atau yang membangkitkan syahwat. Walaupun hal-hal semacam itu dinyatakan
sebagai dosa kecil namun bila hal ini dilakukan terus menerus tentu
dosa tersebut akan menjadi besar.
Dalam ta’lim mereka selalu
mendekat dan merapat kepada nara sumber. Kegiatan ta’lim biasanya
dilakukan setiap selesai salât fardhu. Umumnya salah seorang dari mereka
menjadi “moderator” dan secara bergantian membaca kitab-kitab tertentu
lalu mendiskusikannya. Bila mereka sedang muqim di suatu mesjid biasanya
mereka akan memberikan ta’lim kepada jama’ah salât dengan menyampaikan
satu hadits atau ayat al-Qur’ân. Dalam mendengarkan ta’lim mereka selalu
menunduk, baik bila mereka memahami isi ta’lim maupun tidak.
Dalam Jama’ah Tabligh setiap anggota wajib memiliki sebuah buku, minimal
Fadhilah Amal untuk bahan bacaan di rumah. Hal ini untuk menutupi sifat
manusia yang pelupa agar tidak melupakan ajaran-ajaran Islam.
Saat makan mereka berkumpul membentuk lingkatan mengelilingi satu wadah –
biasanya talam – dan mereka menggunakan tiga jari untuk menyuap nasi
dan tidak menggunakan alat bantu makan seperti sendok, garpu. Adab duduk
tatakala makan adalah menduduki kaki kiri dan kaki kanan dalam posisi
seperti jongkok. Mereka tidak pernah menyisakan apapun dalam piring
mereka, meskipun itu sebutir nasi. Sebagaian mereka hanya mempraktekkan
cara makan ini tatkala di luar rumah, namun bila mereka berada di rumah
mereka makan seperti umumnya orang lain makan, dengan lima jari atau
menggunakan alat bantu makan, dan duduk bersila atau di atas kursi. Yang
terasa dari makan bersama adalah pembentukan kebersamaan dan ukhuwah
yang semakin tinggi.
Hidup sederhana merupakan gaya hidup yang
harus dibentuk oleh setiap Jama’ah Tabligh. Kesederhanaan ini bukan saja
dalam berpakaian dan makan, namun juga tidak membelanjakan harta dengan
sia-sia tanpa manfaat bagi agama Islam.
Mengeluarkan harta di
jalan Allah merupakan sikap yang terus menerus mereka pupuk dalam upaya
menegakkan syiar dan kejayaan Islam.
Aktifitas-aktifitas lain yang mereka lakukan antara lain:
Musyawarah harian dan mingguan
Khususi, yaitu melakukan kunjungan atau silaturahmi dengan orang-orang islam yang ada di tempat yang mereka tuju.
Khuruj, yakni kegiatan dakwah yang dilakukan di luar lokasi tempat tinggal.
Jaulah, yakni kegiatan yang dilakukan secara berkeliling dari satu
rumah ke rumah yang lain untuk mengajak umat Islam salât di mesjid
sekaligus untuk mendengarkan bayan atau ceramah agama yang disampaikan
setelah salât fardhu.
Ta’lim, yakni penyampaian materi dengan menelaah kitab-kitab tertentu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan amal.
Bayan setelah salât fardhu. Ini dilakukan bukan saja saat mereka di
Mesjid, sebagian anggota Jama’ah Tabligh juga melakukan bayan di rumah
setiap hari, umumnya setelah salât Maghrib.
Malam markas, yaitu
pertemuan yang dilakukan pada malam hari oleh anggota Jama’ah Tabligh.
Kegiatan ini dilakukan seminggu sekali dimulai dari sesudah ‘Asar sampai
menjelang Zuhur keesokan harinya.
Masturah, yakni kegiatan
dakwah bagi sepasang suami istri. Bila wanitanya adalah anggota Jama’ah
Tabligh dan suaminya bukan, maka ia harus menyertakan suaminya dan atau
keluarga mereka yang wanita. Kegiatan ini hanya boleh dilakukan bagi
mereka yang sudah berkeluarga dan disertai suami.
Bila
diuraikan secara spesifik, metode atau cara-cara yang diterapkan Jama’ah
Tabligh dalam transformasi ajaran Islam untuk mencapai tujuan dakwah
antara lain:
Metode uswah/teladan
Metode ceramah
Metode mengajak.
Metode muzakarah.
Metode taskil
Metode dor to dor
Metode maw’idzah/pengajaran
Metode Tabsyir
Metode indzâr
Metode Kisah-kisah.
Metode Nasihat.
Metode Pembiasaan.
Respon Masyarakat
Respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
Menolak
Tingkat penolakan yang paling ekstrim adalah yang menyatakan bahwa
Jama’ah Tabligh adalah aliran sesat, sebagian menyatakan bahwa Jama’ah
Tabligh tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini mereka nyatakan karena
melihat fenomena bahwa sebagian anggota Jama’ah Tabligh yang
mengabaikan dan menelantarkan keluarga, menelantarkan studi, dan
meninggalkan pekerjaan.
Menerima secara aktif.
Anggota
masyarakat jatuh cinta kepada gerakan dakwah Jama’ah Tabligh dan
kemudian mengikuti kegiatan dakwah saat mereka berdakwah di lokasi
tempat tinggalnya. Ini kemudian diteruskan dengan keikutsertaannya
menjadi anggota Jama’ah Tabligh. Mereka yang menerima aktif ini dapat
dikategotikan dalam tiga latar belakang:
Golongan yang memang
sudah menjalankan ibadah Islam dengan baik namun kemudian merasakan
kelezatan iman yang lebih tinggi saat mengikuti kegiatan dakwah Jama’ah
Tabligh.
Golongan yang masih labil pelaksanaan ajaran Islam
yang kemudian termotivasi karena selama pergaulannya dengan anggota
Jama’ah Tabligh mengalami pengingkatan keislaman dan keimanan.
Golongan yang sama sekali tidak mengamalkan ibadah atau ajaran Islam dan
bahkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang
kemudian selama pergaulan dengan anggota Jama’ah Tabligh mengalami
pencerahan spiritual.
Menerima dengan pasif.
Yakni
anggota masyarakat yang tercerahkan dengan kehadiran Jama’ah Tabligh dan
selalu hadir dalam pengajian Jama’ah Tabligh di daerahnya namun tidak
terlibat aktif dalam aktifitas dakwah.
Acuh tak acuh.
Ini adalah golongan yang baginya ada atau tidak Jama’ah Tabligh di
daerahnya dia tidak ambil pusing, tidak menolak dan tidak menerima, dan
tidak memberikan komentar dan respon apapun.
Kritik masyarakat
terhadap Jama’ah Tabligh adalah: Pertama, Jama’ah Tabligh hendaknya
sebelum melakukan dakwah keluar meninggalkan nafkah yang cukup untuk
keluarga, dan bagi yang sudah berkeluarga hendaknya tidak meninggalkan
keluarga lebih dari satu minggu. Kedua, Jama’ah Tabligh jangan melupakan
membimbing keluarga dalam keislaman, jangan terlena mendakwahi orang
lain tapi melupakan keluarga. Ketiga, tidak membolehkan anak-anak turut
dalam kegiatan dakwah karena hal ini memberatkan anak-anak khusunya bagi
anak-anak yang masih bersekolah. Keempat, hanya membolehkan para
pelajar berdakwah keluar saat mereka sedang libur sekolah. Kelima,
menekankan kepada anggotanya akan pentingnya pencapaian dunia, kesalahan
bukan terletak pada pencapaian dunia melainkan pada penggunaan
pencapaian dunia itu untuk tujuan di luar jalan Allah. Keenam, tidak
membolehkan anggota yang pengetahuan keislamannya rendah berdakwah
karena dapat menyesatkan umat. Ketujuh, mengarahkan anggotanya pada
rujukan-rujukan sumber ajaran Islam, al-Qur’ân dan Hadits yang benar,
bukan hadits-hadits yang lemah apalagi palsu. Kedelapan, meskipun
Jama’ah Tabligh tidak membicarakan dan terlibat politik namun harus
memberikan kemerdekaan bagi anggotanya untuk berkegiatan politik, karena
kekuasaan itu juga dapat digunakan untuk penyebaran Islam, khususnya
untuk menegakkan khilafah islamiyah. Kesembilan, upaya mewajibkan
anggota untuk bertaqlid bertentangan dengan ititba’. Kesepuluh, Jama’ah
Tabligh terlalu terfokus pada kesalehan individual dengan mengabaikan
aspek-aspek politik, jihad, dan ekonomi. Kesebelas, Jama’ah Tabligh
terlalu sempit dalam memahami dakwah yang terbatas pada bidang yang
parsial dan tidak universal. Dan pola dakwah yang mereka terapkan masih
konservatif dengan hanya melanjutkan dan mempertahankan segala sesuatu
yang menjadi kebiasaan Rasulullah saw tanpa ada usaha untuk melakukan
ijtihad dengan menyesuaikan dengan keadaan yang berlaku di zaman
sekarang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai lembaga dakwah
yang berasal dari Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades,
India., Jama’ah Tabligh terdiferensiasi dengan lembaga-lembaga lainnya
dalam beberapa hal:
Lahir bukan atas latar belakang politis dan
menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan politik dan bahkan melarang
anggotanya untuk tidak terlibat dalam politik.
Garis kerja
dakwah (hirarki) tidak sama dengan lembaga lain baik dalam sistem dan
peraturannya, serta kualitas pengorbanan harta, jiwa, raga, dan waktu
dalam berdakwah.
Sikap dan prilaku yang diaktualisasikan
sebagai Muslim dengan menjalankan amalan-amalan wajib dan sunnah serta
meninggalkan hal-hal yang sia-sia/tidak bermanfaat selama 24 jam.
Karakteristik kepribadian islami yang kemudian menjadi budaya jama’ah
tercermin dari ketulusan hati, tanggung jawab, integritas, kejujuran,
kecermatan, menepati janji, mengontrol diri, rendah hati, sabar, tabah,
berani, sederhana, kerja keras dan persaudaraan. Kesemuanya tertuang
secara melembaga dalam adab-adab ushul dakwah, khidmat, ikrâm, dan
tasykil.
Selain dakwah melalui komunikasi kepada masyarakat
mereka juga berdakwah melalui pelestarian nilai-nilai dan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari dimana mereka berada.
Perilaku
interpersonal anggota Jama’ah Tabligh memberikan penguatan
(reinforcement) dan dorongan dalam mewujudkan interaksi kelompok dalam
keberagamaan.
Realisasi ajaran-ajaran Islam yang dilakukan
bukan sekedar ritual mekanis melainkan lebih dari itu merupakan upaya
pelestarian dan perbaikan individu dan masyarakat.
Dalam transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam Jama’ah Tabligh menerapkan berbagai metode dakwah.
Dari sisi transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam, Jama’ah Tabligh mengaplikasikan behavioral learning ini sebagai berikut:
Pengalaman-pengalaman baru yang dibentuk adalah pengalaman-pengalaman
yang melahirkan ketenangan jiwa dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam,
yang selanjutnya menghasilkan internalisasi nilai-nilai dan
ajaran-ajaran Islam dalam diri setiap Muslim.
Asosiasi baru
yang dibentuk adalah asosiasi yang positif dan membahagiakan antara
kognisi, afeksi, emosi, dan psikomotor seorang Muslim dengan agama
Islam.
Kecenderungan baru yang akan dibentuk adalah
kecenderungan untuk selalu menggapai ridha Ilahi dengan melakukan
amalan-amalah shalih dimanapun berada, baik di rumah, lingkungan tempat
tinggal, lingkungan kerja, mesjid, lingkungan belajar, Dan sebagainya.
Habitat baru yang dibentuk adalah habitat /masyarakat terbaik atau masyarakat Muslim yang menyahuti tuntutan Allah.
Dalam mengkaji respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh harus dilihat
secara objektif, terbuka, toleran, dengan pemaham luas tentang Jama’ah
Tabligh, dan dengan melihat latar belakang anggotanya secara individual.
Hal ini perlu, mengingat pandangan negatif tentang Jama’ah Tabligh
sebagian dihasilkan karena kesalahan generalisasi, yakni menjadikan
kasus perorangan berlaku untuk semua anggota Jama’ah Tabligh.
Secara umum, hasil yang dicapai bagi setiap individu dan masyarakat
sasaran dakwah Jama’ah Tabligh dapat dirangkumkan sebagai berikut:
Masyarakat semakin gemar melakukan amal ibadah.
Salât berjamaah semakin hari semakin hidup di mesjid.
Peningkatan jumlah jama’ah mesjid.
Suasana keislaman di masyarakat mulai hidup.
Penurunan tingkat kenakalan remaja
Semangat menggali pengetahuan keislaman semakin tinggi
Peningkatan ukhuwah islamiyah dan silaturahmi.
Dari pantauan berkala di masyarakat, penulis melihat bahwa hasil di
atas relatif tidak permanen bagi sebagian besar anggota masyarakat.
Beberapa hari setelah Jama’ah Tabligh meninggalkan lokasi, hanya
sebagaian kecil anggota masyarakat yang tetap menunjukkan hasil
pendidikan dakwah Jama’ah Tabligh tersebut. Namun bagi warga masyarakat
yang kemudian terus mengikuti kegiatan dakwah mereka dan apalagi bagi
anggota Jama’ah Tabligh hasil di atas bersifat permanen, bahkan terus
menerus ditingkatkan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa prilaku dalam bentuk aktifitas keagamaan yang dibudayakan Jama’ah
Tabligh merupakan salah satu bentuk terapi kesehatan jiwa dari
perspektif Psikologi Agama. Mereka adalah orang-orang yang telah
didakwahi dan kemudian mendakwahi, diobati dan kemudian mengobati,
diishlahkan kepribadiannya dalam pelukan iman dan kemudian mengishlahkan
orang lain. Mereka adalah orang-orang yang meleburkan ego individunya
dan membentuknya menjadi suatu impresi keanggotaan kolektif. Sehingga
dakwah yang dilakukan tidak lagi dipandang sebagai aktifitas individu
melainkan aktifitas kelompok. Kebanggaan individu lebur menjadi
kebanggaan kelompok yang selanjutnya akan membentuk kebanggaan
keislaman. Dari sisi ini dan dari sisi bahwa aktifitas-aktifitas Jama’ah
Tabligh menyebar di masyarakat, maka dapat dikatakan mereka adalah
“dokter” kesehatan jiwa masyarakat.
Pustaka Acuan
Baron, Robert A. dan Donn Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, Edisi VI, Boston: Allyn and Bacon, 1991.
Bischof, Ledford J., Adult Psychology, edisi 2. New York: Harper and Crow, 1976.
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor, Kualitatif: Dasar-dasar
Penelitian, terj. A. Khozin Afandi, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, Macon, Georgia, Mercer University Press, 1986.
David, Linda L., Introduction to Psychology, edisi 3, New York: McGraw-Hill, Inc., 1976.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, jilid 2, Jakarta: Anda Utama, 1993.
Erikson, E. H., The Life Cycle Completed: A Review, New York: W.W. Norton, 1982.
Frager, Robert, Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of Growth,
Balance and Harmony, terj. Hasmiyah Rauf, Jakarta: Serambi, 2002.
Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion, New Haven: Yale University Press, 1950.
Fromm, Erich, The Art of Loving, New York: Harper and Row, 1956.
Gazalba, Sidi, Mesjid Sebagai Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1975.
Goldman, Ronald, Religious Thinking from Childhood to Adolescence, New York: Seabury Press, 1964.
Hassan, A., Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 1983.
Henderson, Joseph L., Cultural Attitudes in Psychological Perspective, Toronto: Inner City Books, 1983.
Huberman, A. Michael dan Mathew B. Miles Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press, 1992
Hurlock, Elizabeth B., Developmental Psychology: A Life Span Approach
edisi V, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta: Erlangga, 1994.
Ibrahim, Edi Subandy, dkk, Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Populer dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Bandung: Mizan, 1997.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
an-Nadwi, Abul Hasan Ali, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana
Muhammad Ilyas, edisi terjemahan, cet 1, Darun Nukman: Kuala Lumpur,
1991.
O’Dea, Thomas F., The Sociology of Religion, New Jersey: Prentice Hall, 1966.
Piaget, Jean Piere, The Moral Judgment of the Child New York: Harcourt, Brace and World, 1932.
Scobie, Geoffrey E.W., Psychology of Religion, London: B.T. Batsford, 1975.
Spilka, Bernard, dan Daniel N. McIntosh, The Psychology of ReligionL Theoritical Approach, Colorado: Westview Press, 1997.
Tajfel, Henri, The Social Dimension, jilid I, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
Thoules, Robert H., An Introduction to Psychology of Religion, Cambridge: Cambridge University Press, 1979.
Weiten, Wayne, Psychology Applied to Modern Life, Edisi II, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985.
Yinger, J.M., Religion, Society and the Individual, New York: Macmillan, 1957.
PENELITIAN UGM MENGENAI JAMAAH TABLIGH
(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam 4th International Symposium
of Journal Antropologi Indonesia July 12-15, 2005 di UI Jakarta).
A. PENDAHULUAN
Makalah ini berusaha mengkaji fenomena gerakan dakwah Islam yang
menamakan dirinya “Jama’ah Tabligh”. Komunikasi terjadi antara saya
dengan anggota Jama’ah Tabligh ketika mereka secara sengaja mendatangi
rumah saya di Yogyakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun, sudah sekitar 4
kali Masjid di tempat saya tinggal didatangi oleh Jama’ah Tabligh.
Setiap kali anggota Jama’ah Tabligh menginap di Masjid dekat rumah saya,
mereka hampir tiap malam datang ke rumah saya dan rumah-rumah tetangga
yang bergama Islam. Ada beberapa keunikan yang menjadi identitas Jama’ah
Tabligh, mulai dari penampilan, cara berpakaian, kebiasaan keluar rumah
untuk berdakwah selama berhari-hari, cara makan bersama, metode
berdakwah, hingga menghindari politik dan kekerasan dalam berdakwah
Islam.
“Jama’ah” secara harfiah sering disamakan dengan
kelompok atau bersama-sama, misalnya sholat berjama’ah artinya sholat
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh para
makmum. Kata “tabligh” adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad SAW dari empat sifat beliau (sidiq = benar, amanah = bisa
dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan). Tabligh atau
menyampaikan dalam hal ini adalah menyampaikan dakwah ajaran-ajaran
agama Islam kepada orang lain. Hal ini kalau kita bahas tentang asal
kata dari Jama’ah Tabligh. Pada aspek penampilan, cara berpakaian para
karkun (bhs. India) yaitu para aktifis Jama’ah Tabligh tampak khas.
Para lelaki biasanya berpakaian dominan warna putih dengan baju
“Afghani clothes” atau baju Afghanistan yang biasa dipakai oleh
orang-orang Afganistan, India, Pakistan, dan Banglades. Ada juga warna
baju lain seperti coklat, biru, hitam, dll. Baju ini berlengan panjang,
dan menjulur ke bawah sampai lutut dengan belahan disisi kiri bawah dan
kanan bawah. Istilah model baju ini saya dengar dari laki-laki pedagang
baju di Mekah saat kami sekeluaraga pergi haji ke Mekah pada tahun 1998.
Menurut si pedagang baju itu, Afghani clothes berbeda dengan “gamis”
yang biasa dipakai oleh para pria Arab. Gamis adalah baju yang menjulur
ke bawah sampai hampir menutupi mata kaki, biasanya berwarna putih dan
berlengan panjang. Para istri dari karkun ini biasanya berjilbab dan
memakai cadar (penutup wajah), mereka lebih banyak tinggal di rumah dan
menjadi manajer rumah tangga. Para suami lebih banyak berada di luar
rumah untuk mencari rejeki dan berdakwah agama Islam.
Jama’ah
Tabligh didirikan oleh Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy pada tahun
1920-an (?) di Uttar Pradesh, India. Sebagian besar pengikutnya berada
di India, Pakistan, dan Bangladesh. Sejak 1980-an organisasi dakwah ini
melebarkan sayapnya ke Timur Tengah, Asia Tenggara (terutama Indonesia,
Malaysia, Thailand), Australia, dan Amerika (Majalah GATRA, 27 November
2004). Walaupun para pengikut Jama’ah Tabligh berasal dari berbagai
negara akan tetapi gaya berpakaian mereka cenderung sama yaitu lebih
suka memakai Afghani clothes, dari pada memakai gamis.
B. PEMBAHASAN
Berawal dari sebuah peristiwa saat mengikuti kursus persiapan masuk
perguruan tinggi di Yogyakarta, salah satu tentor mengajak dan setengah
memaksa kepada saya untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di
Jalan Kaliurang Yogya. Saat itu saya tidak mau. Lain waktu tetangga saya
juga pernah mengajak dengan setengah memaksa untuk mendatangi pengajian
di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saya tetap tidak mau
dengan berbagai alasan yang saya sampaikan.
Mulai saat itu saya
bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya pengajian di tempat itu model
pengajian seperti apa ? Apakah sebuah pengajian Islam sempalan seperti
yang banyak dibicarakan orang? Pertanyaan itu terjawab setelah beberapa
tahun berlalu yaitu pada saat saya telah hampir selesai kuliah di
Jurusan Antropologi UGM. Beberapa orang laki-laki dengan baju khas dan
sebagian memakai sorban (ikat kepala) dengan membawa alat-alat masak
serta perlengkapan makan mohon ijin kepada pemuka masyarakat untuk
bermalam sekitar 3 hari di Masjid Kampung saya tinggal.
Ketua
Takmir Masjid dan Ketua RW pada awalnya ragu-ragu karena penampilan para
pendatang itu terlihat asing, mungkin ada perasaan khawatir dan curiga
menghinggapi perasaan para tokoh masyarakat di kampung saya itu. Ketika
wakil dari orang-orang asing itu datang ke rumah saya untuk minta ijin
kepada saya karena saya sebagai ketua pemuda kampung, saya langsung
mengijinkan. Dalam pikiran saya inilah kelompok pengajian yang dahulu
setengah memaksa saya untuk bergabung dengan mereka, saat inilah saya
bisa tahu lebih banyak keberadaan mereka.
Di depan jama’ah
sholat magrib setelah sholat berlangsung, saya katakan bahwa “innamal
mukminuna ikhwah, bahwa semua orang Islam itu bersaudara” sehingga
saudara yang datang dari jauh perlu disambut kedatangannya. Akhirnya
diterimalah mereka menginap di masjid kami, akan tetapi ada juga satu
dua warga yang tetap curiga dan menolak mereka walaupun pendapat mereka
ini tidak bisa diwujudkan. Kecurigaan terhadap sesama orang Islam ini
karena didasari oleh ketidaktahuan, lebih dari itu adalah wacana yang
dikembangkan pada jaman Orde Baru bahwa Islam di Indonesia hanya ada 2
yaitu Islam tradisional yaitu NU dan Islam modern yaitu Muhamadiyah.
Dikotomi Islam yang mengkutub pada Gerakan Muhamadiyah dan Nahdhatul
Ulama yang menjadi simbol Islam Modernis dan Islam Tradisional selama
puluhan tahun telah menjadi wacana baku dalam mengkaji Islam di
Indonesia. Orang selalu saja mengkaitkan Islam dengan Muhamadiyah dan
NU. Jika ada gerakan atau kelompok di luar Muhamadiyah dan NU maka akan
segera dicap sebagai Islam sempalan, dan lebih ekstrem lagi dicap
sebagai Islam aliran sesat yang harus dilarang dan dibubarkan. Mengapa
Muhamadiyah dan NU menjadi mainstream wacana Islam di Indonesia? Apakah
karena jumlah masa yang besar ?
Jawabannya, bahwa Muhamadiyah
dan NU selain karena jumlah masanya yang besar, juga karena kedua
organisasi Islam itu mau mendukung penguasa Orde Baru. Beberapa orang
pemerintah ditempatkan menjadi pengurus di kedua organisasi itu.
Penerimaan Pancasila oleh Muhamadiyah dan NU sebagai satu-satunya azas
adalah simbol ketundukan kedua organisasi itu terhadap kekuasaan
pemerintah Orde Baru. Dalam konteks ini Pancasila diposisikan sebagai
totem, atau malah sebagai sebagai “agama” yang dipaksakan oleh oleh
pemerintah untuk diterima oleh semua lapisan masyarakat. Pada sebagian
orang muslim fenomena itu adalah proses pemusrikan pada orang Islam di
Indonesia.
Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998
yang membuka kran keterbukaan termasuk dalam beragama Islam, mulailah
bermunculan gerakan Islam di luar mainstraim NU dan Muhamadiyah. Contoh
gerakan itu antara lain; Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dengan
Laskar Jihad-nya, FPI, Majlis Mujahidin, Jama’ah Tabligh, dll.
Reformasi 1998 juga telah memutar pendulum wacana Islam di Indonesia
dari wacana Islam tradisional vs Islam modern, bergeser menjadi wacana
Islam kaaffah vs Islam moderat.
Berbagai kelompok Islam
ini–walau tidak semuanya–mewakili sayap Islam kaffah yaitu berusaha
mengimplementasikan syariat atau ajaran Islam ke dalam hidup sehari-hari
secara kaaffah atau secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam coba
mereka aplikasikan dalam kehidupan di dalam rumah tangga, di dalam
proses perdagangan/perniagaan, di kantor, atau di tempat-tempat umum
seperti terminal atau bandar udara secara damai dan tidak mengganggu
hak-hak orang lain. Sikap toleransi sosial (tasamuh) juga hidup subur di
dalam komunitas Islam ini. Di sisi lain seperti NU dan Muhamadiyah dan
yang lain menempatkan diri pada posisi Islam moderat, yang ingin
menerapkan ajaran atau syariat Islam dengan menyesuaikan kondisi
masyarakat kekinian. Gerakan Islam Liberal yang dipelopori oleh Ulil
Absar Abdalla di Jakarta juga menjadi fenomena menarik untuk dikaji
lebih mendalam pada kesempatan lain.
Jama’ah Tabligh dalam hal
ini termasuk pada posisi Islam kaafah. Kelompok-kelompok Islam seperti
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Salafi, FPI, Majlis
Mujahidin, atau Jama’ah Tabligh dll. tidak semuanya berdiri setelah Orde
Baru tumbang. Sebagian sudah ada dan berdakwah secara bawah tanah serta
melakukan kaderisasi secara intensif, misalnya Gerakan Tarbiyah yang
sudah muncul sejak tahun 1970-an secara bawah tanah dan meminjam model
pembinaan kader dari model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan
Tarbiyah ini pada awal kemunculannya di tahun 1998 melalui “wajah” KAMMI
(Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) dengan ketuanya Fahri Hamzah,
kader jebolan Gerakan Tarbiyah.
KAMMI yang diback-up para
senior Gerakan Tarbiyah bertransformasi menjadi Partai Keadilan (PK). PK
tidak mencapai electoral thresshold pada pemilihan umum 1999 sehingga
bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Organisasi
Salafi juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru dengan pusatnya di Pondok
Pesantren Ihya’us Sunnah di Sleman Yogyakarta di bawah pimpinan Ustadz
Ja’far Umar Tholib. Di bawah Ja’far Umar Tholib organisasi ini menjadi
terkenal karena pembentukan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ)
yang dikirim ke medan perang di Ambon dan Maluku.
Ada juga
Salafi yang berpusat di Pondok Pesantren Jamilurrohman di Jalan Imogiri
Bantul Yogyakarta di bawah Ustadz Abu Nida. Jama’ah Tabligh juga sudah
muncul sejak jaman Orde Baru, di Yogyakarta pusat aktifitasnya adalah
Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang di dekat kampus UGM Yogyakarta. Ini
adalah contoh beberapa gerakan atau organisasi yang selamat dari tangan
kejam pemerintah Orde Baru. Gerakan Islam atau kelompok Islam yang
pernah dihancurkan oleh pemerintah karena dicap sebagai Islam sempalan
misalnya adalah kelompok Islam di Lampung yang dipimpin oleh Warsidi.
Kelompok ini kemudian diberi stigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan
(GPK) Warsidi, diserbu oleh aparat keamanan dan yang masih hidup dibawa
ke pengadilan.
Contoh lain adalah kelompok Haur Koneng di Jawa
Barat juga dibubarkan oleh pemerintah, atau Islam Jama’ah yang kemudian
berganti nama menjadi LEMKARI dan kini bernama LDII (Lembaga Dakwah
Islam Indonesia). Istilah GPK adalah stigma yang dipropagandakan oleh
pemerintah orde baru sehingga berlanjut dengan terbentuknya public
opinion, bahwa pihak yang dicap sebagai GPK memang musuh pemerintah,
musuh negara, dan musuh masyarakat sehingga harus dihancurkan. Ternyata
masyarakat biasanya mendukung sikap pemerintah itu. Stigma atau label
sebagai GPK identik dengan istilah ekstrimis pada jaman perang
kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Rakyat Indonesia yang melawan
pemerintah kolonialis Belanda dengan mengangkat senjata dicap sebagai
kaum ekstremis oleh penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali
menjajah Indonesia pasca Perang Dunia II.
Istilah ekstremis ini
diadopsi oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dengan
munculnya stigma ekstrem kiri bagi pihak oposisi yang berbasis pada
pemikiran sosialisme dan marxisme, dan ekstrem kanan bagi oposan dengan
basis pemikiran dari ajaran Agama Islam. Pada era kekinian terjadi
metamorfosis stigma yaitu kaum teroris bagi umat Islam yang berani
melawan peradaban Barat dengan mengangkat senjata. Berbagai stigma di
muka apabila kita lihat secara teliti ternyata terdapat pola yang sama.
Stigma sebagai ektremis, ektrem kanan dan ekstrem kiri, Gerombolan
Pengacau Keamanan (GPK), maupun teroris pada dasarnya diciptakan oleh
pihak pemegang kekuasaan. Logika kekuasaan di mana kekuasaan yang ada di
tangan mereka selalu terancam oleh pihak oposisi, memotivasi para
penguasa untuk meniadakan penentangan dan perlawanan dengan cara yang
keras dan kejam terhadap para penentang penguasa.
Kaum oposan
yang telah berani melawan pemegang kekuasaan karena kekuasaan dianggap
telah membelenggu dan menindas mereka, sebelum secara fisik dihancurkan
oleh para penguasa maka terlebih dahulu dihancurkan citranya (image-nya)
dengan membentuk opini publik. Apabila opini publik telah terbentuk di
masyarakat secara luas maka penghancuran fisik seperti penyerbuan oleh
aparat keamanan dan menyeret ke pengadilan terhadap para penentang
pemerintah ke pengadilan. Di sini opini publik berfungsi sebagai alat
legitimasi bagi penindasan oleh penguasa terhadap kaum oposan.
Terbentuknya opini publik tidak bisa dilepaskan dari peran media massa
baik media massa cetak maupun media massa elektronik. Media massa
menjadi jembatan yang menghubungkan dan menyebarluaskan opini dari
pembuat opini kepada khalayak.
Opini publik tentang Jama’ah
Islamiah (JI) yang dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini
oleh banyak penguasa di berbagai negara di Asia Tenggara, sedikit banyak
ternyata mendapat counter opinion (opini tandingan) dari masyarakat
Islam secara luas. Diksi atau pilihan kata Jama’ah Islamiyah mungkin
saja terdapat maksud untuk menggiring memori masyarakat terhadap
organisasi Islam Jama’ah yang berpusat di Kediri, Jawa Timur pada masa
Orde Baru. Karena memiliki citra buruk maka Islam Jama’ah berganti nama
menjadi LEMKARI, kemudian berubah lagi menjadi LDII sampai sekarang.
Sebagai siasat untuk bisa tetap eksis maka LDII berlindung di bawah
GOLKAR dan massa LDII menjadi underbow GOLKAR. Jama’ah Islamiyah berbeda
dengan Islam Jama’ah yang citranya buruk.
Terlepas ada atau
tidak organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara, di balik frase
Jama’ah Islamiyah terkandung makna bahwa Jama’ah Islamiyah itu artinya
adalah kelompok, golongan atau semua orang yang beragama Islam. Ketika
Jama’ah Islamiyah yang maknanya secara luas adalah “semua orang Islam”,
dicap sebagai kaum teroris maka banyak orang yang buta politik seperti
saya, merasa sakit hati terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Umat
Islam yang berusaha melaksanakan ajaran Islam secara baik dengan
mencintai Allah (hablumminallah) dan mencintai sesama manusia
(hablumminannas) mengapa dikatakan sebagai kaum teroris yang
menghancurkan kehidupan manusia?
Jama’ah Tabligh yang menjadi
sentra kajian tulisan ini juga telah membuktikan bahwa Islam adalah
agama yang cinta damai. Jamaah Tabligh di mata saya adalah sebuah
gerakan penyebaran agama Islam yang berusaha terus menerus merekrut
anggota dengan jalan persuasif. Selama kurun waktu 8 tahun kelompok
jamaah Tabligh ini sudah sekitar 4 sampai 5 kali menginap di masjid
kampung saya untuk menyebarkan dakwah Islam. Model dakwah mereka ada
yang dinamakan “jaulah” dan “khuruj”. Jaulah adalah berkeliling
mendatangi rumah-rumah orang Islam yang terletak di sekitar masjid
tempat para karkun itu menginap. Mereka ini bersilaturahmi (menjalin
hubungan persaudaraan) dan kemudian menyampaikan kebaikan-kebaikan
ajaran Islam. Khuruj adalah keluar atau meninggalkan lingkungan
sehari-hari dengan tujuan menyampaikan dakwah Islam. Bisa saja mereka
meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan keluarga, meninggalkan
pekerjaan, dan secara berjamaah pergi ke luar kota, atau keluar propinsi
atau bahkan ke luar dari batas negara. Biasanya mereka berkhuruj selama
3 hari dalam satu bulan, 40 hari dalam satu tahun, atau 4 bulan selama
seumur hidup.
Para karkun yang sering mengunjungi rumah saya di
Yogyakarta sering berdiskusi sampai larut malam tentang berbagai hal
terutama yang berhubungan dengan Islam. Mereka ada yang datang dari
Yogyakarta, dari Jakarta, dari Lampung, atau dari Medan Sumatera Utara.
Mereka berpandangan bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik,
maka berbahagialah orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya. Mereka
selalu mengajak memeluk ajaran Islam secara kaaffah yaitu menyeluruh,
utuh, atau tidak sepotong-sepotong yang dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. “Udkhullu fisilmi kaaffah = masuklah ke dalam Islam secara
kaaffah”, kata mereka dengan mngutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an.
Mereka selalu saja tidak henti-hentinya mengajak solat wajib berjamah
di masjid bagi laki-laki, selalu berbuat baik kepada sesama manusia
tanpa membedakan agama, meninggalkan larangan-larangan agama, dan mereka
juga tidak pernah mengatakan bahwa mereka berasal dari organisasi
dakwah bernama Jama’ah Tabligh, mereka selalu mengedepankan kesatuan
Islam.
Mungkin saja dengan meminggirkan identitas golongan
mereka, mereka bertujuan untuk tidak terjebak pada perdebatan antar
kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa dan penampilan yang rendah hati
dan mempesona lawan bicara, mereka ini selalu menghindarkan diri dari
khilafiyah (beda pendapat) dan menghindarkan diri dari siyasah (politik
praktis). Walaupun tidak berpolitik praktis, akan tetapi pada saat
memilih pemimpin mereka bermusyawarah dan bermufakat. Pemimpin bisa
dipilih dengan cara itu, dan bisa diganti dengan cara yang sama. Siapa
saja bisa menjadi pemimpin asalkan memiliki sifat-sifat sidiq = benar,
amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan.
Seperti halnya pada saat solat berjamaah maka siapa saja bisa menjadi
imam asalkan bisa melafalkan ayat-ayat Qur’an, dalam kondisi yang baik,
dan dianggap mampu oleh makmum.
Dari fenomena Jamaah Tabligh
ini apabila ada yang mengatakan bahwa sistem kekuasaan Islam itu anti
demokrasi dan otoriter, tentu itu adalah pendapat yang sangat keliru.
Sistem demokrasi “masyarakat Barat” seharusnya berani membuka hati bahwa
secara antropologis, masyarakat Islam juga memiliki tata cara dan sopan
santun dalam berdemokrasi. Masyarakat Islam tidak perlu dipaksa-paksa
untuk menganut sistem “demokrasi ala Barat”. Bahkan secara ekstrem
mereka orang Islam dicap sebagai kaum teroris yang harus diperangi dan
dimusnahkan dari muka bumi, hanya karena berusaha mempertahankan
identitas sebagai masyarakat muslim.
Untuk kasus ini tentu saja
para antropolog sedunia harus ikut turun tangan untuk memberikan
penjelasan-penjelasan rasional, sistematis, dan jernih kepada para
“pendekar demokrasi” ala Barat mengenai kerangka berpikir masyarakat
muslim. Masyarakat muslim tentu tidak akan memerangi masyarakat penganut
demokrasi barat apabila masyarakat muslim tidak “diganggu”
kehidupannya. Kasus Jamaah Tabligh menunjukkan bahwa mereka selalu
menghindari perbedaan pendapat, apalagi yang menjurus pada benturan
fisik.
Bayan (ceramah, pengajian) yang disampaikan oleh ustadz
tiap sehabis solat berjamaah yang dilakukan secara rutin pada komunitas
Jama’ah Tabligh, biasanya berisi 6 hal standar yaitu; 1) keutamaan
Laaillahaillallah Muhamadarrosulullah, 2) membesarkan nama Allah dengan
cara menjalankan sholat secara khusuk, 3) ilmu dan dzikir, 4) ikram atau
memuliakan sesama manusia, 5) mengikhlaskan niat, dan 6) pentingnya
setiap muslim melakukan dakwah dan tabligh (Majalah GATRA, 27 November
2004).
Dari materi dakwah ini kita bisa melihat bahwa Jama’ah
Tabligh tidak mengajarkan ummat Islam untuk memusuhi orang lain, tetapi
selalu mengajarkan kebaikan. Para antropolog jangan mengulangi kesalahan
besar seperti yang dilakukan oleh Snouk Horgronye seorang antropolog
dari Belanda. Dia menyumbangkan ilmu antropologinya untuk terjadinya
pembantaian Rakyat Aceh dan berujung pada penindasan dan penjajahan oleh
Belanda terhadap Rakyat Aceh. Penulisan buku “Pedang Samurai dan Bunga
Seruni (The Chrysanthemum and The Sword)” oleh seorang antropolog wanita
dari Amerika Ruth Benedict, yang kemudian menjadi awal penghancuran
Bangsa Jepang pada Perang Dunia II, tidak perlu diulangi oleh para
antropolog kekinian.
Para antropolog jangan bersedia menjadi
ahli kebudayaan tentang masyarakat Muslim yang telah diberi stigma
sebagai teroris, demi kepentingan pemerintah Amerika, yang bisa berujung
pada penghancuran masyarakat Muslim.
C. KESIMPULAN
Jama’ah Tabligh adalah potret dari gerakan dakwah Islam kekinian yang
bersifat lintas negara. Islam yang terlihat pada wajah Jama’ah Tabligh
adalah santun, rendah hati, dan cenderung menghindari khilafiyah (beda
pendapat). Para aktivis Jama’ah Tabligh (karkun) secara rajin dan
kontinyu ber-khuruj untuk menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang
mempesona, agar Islam menjadi sistem hidup para pemeluknya di dalam
kehidupan sehari-hari. Agar pemeluk agama Islam melaksanakan ajaran
Islam secara kaaffah, secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong.