Jumat, 22 Februari 2013

Penelitian tentang Jamaah Tabligh






IKLAN




PENELITIAN IAIN TENTANG DAKWAH JAMAAH TABLIGH

Syeikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1885-1944 M) pendiri Jama’ah Tabligh dilahirkan di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ia adalah pengikut tariqat Chistiyyah dari cabang Sabiriyyah, namun ia tidak bergantung kepada ajaran tariqat ini saja melainkan turut memanfaatkan ajaran dari tariqat lain seperti Naqshabandiyyah, Qadiriyyah dan Suhrawardiyyah. Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniwan besar dan seorang penganut tasawwuf yang sangat abid dan zahid. Dia telah mengabdikan hidupnya dalam ibadah dan tidak lagi terlalu disibukkan dengan urusan dunia yang suka menjalani hidup dengan ber-uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Alquran serta mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah adalah seorang Hafidzah Alquran. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya.

Pada tahun 1351 H/1931 M, ia menunaikan haji yang ketiga ke Tanah Suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakan untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah. Sepulang dari haji, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jamaah dengan jumlah sekitar seratus orang. Dalam kunjungan tersebut ia selalu membentuk jamaah-jamaah yang dikirim ke kampung-kampung untuk ber-jaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama. Ia sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan.

Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, ia pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh. Ia tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran ia dituang dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Sepeninggal Syeikh Muhammad Ilyas Kandahlawi kepemimpinan JT diteruskan oleh puteranya, Syeikh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917 – 1965 M).

Jama’ah Tabligh muncul di India dilatarbelakanngi keadaan umat Islam India yang saat itu sedang mengalami kerusakah akidah, dan degradasi moral yang dahsyat. Ummat Islam telah tidak akrab lagi dengan syiar-syiar Islam. Di samping itu, juga terjadi pencampuran antara yang baik dan yang buruk, antara iman dan syirik, antara sunnah dan bid’ah. Lebih dari itu, juga telah terlah terjadi gelombang pemusyrikan dan pemurtadan yang didalangi oleh para misionaris Kristen di mana Inggris saat itu sedang bercokol menjajah India.

Gerakan misionaris yang didukung Inggris dengan dana yang sangat besar berusaha membolak-balikkan kebenaran Islam, dengan menghujat ajaran-ajarannya dan mendiskreditkan Rasulullah saw. Bagaimana membendung kristenisasi dan mengembalikan kaum Muslimin yang “lepas” ke dalam pangkuan Islam? Itulah yang menjadi kegelisahan Muhammad Ilyas.

Maulana Muhammad Ilyas menghawatirkan kondisi umat, khususnya di daerah Mewat yang semakin jauh dari nilai-nilai Islam dan mengarah kepada kondisi masyarakat jahiliah yang ditandai antara dengan:

Kemusyrikan

Meninggalkan ibadah

Mesjid tidak lagi berfungsi sebagai pusat dakwah dan agama

Kerusakan akhlak

Perbuatan maksiat yang semakin menyebar

Hal ini kemudian menguatkan i‘tikadnya untuk berdakwah yang kemudian diwujudkannya dengan membentuk gerakan jama’ah pada tahun 1927 yang bertujuan untuk mengembalikan masyarakat dalam ajaran Islam. Guna menata kegiatan jama’ah ini dibentuklah suatu garis kerja dakwah jama’ah yang disebut hirarki, yang berbeda dari organisasi dakwah lainnya, yang kemudian dikenal dengan gerakan Jama’ah Tabligh.

Dalam Jamaah ini dikenal enam prinsip (doktrin) yang menjadi asas dakwahnya, yaitu:

Kalimah agung (syahadat) atau disebut sebagai Kalimah Ţayyibah.
Menegakkan salât.
Ilmu dan dzikir.
Memuliakan setiap Muslim.
Ikhlas.
Berjuang fisabilillah (keluar/khuruj).

Sejarah awal masuknya Jama’ah Tabligh ke Indonesia terdiri dari dua versi. Versi pertama: menurut Letkol CPM Purn. Ahmad Zulfakar, Jama’ah Tabligh dibawa oleh seorang amir bernama Miaji Isa pada tahun 1952 di Jakarta dan berkembang pada tahun 1974 di Kebon Jeruk. Kemudian berkembang luas ke penjuru nusantara. Versi kedua, Jama’ah Tabligh dibawa oleh Maulana Luthfi ur-Rahman dari Banglades pada tahun 1973 dalam kegiatan Khurujnya keliling Indonesia. Ia singgah di Tanjung Karang, diterima dengan baik oleh pengurus mesjid al-Abror Jl. Pemuda No. 20 Tanjung Karang, Lampung. Kemudian dilanjutkna oleh Dr. Abdul Hay, Dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Ahmad Sabuur, Dr. Salman dari Universitas Alighard India.

Perkembangan Jama’ah Tabligh di Medan diawali dengan kedatangan Maulana Muhammad Ibrahim (yang sampai saat ini masih tetap menaruh perhatian besar atas perkembangan Jama’ah Tabligh) dari Banglore, India pada tahun 1971. Saat tiba di Medan ia disambut oleh masyarakat Medan dengan baik. Salah seorang yang sangat tertarik dengan tabligh ini adalah Haji Jalaluddin, sehingga dalam menyampaikan dakwahnya Maulana Ibrahim selalu ditemani oleh Haji Jalaluddin. Mereka kemudian membangun Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah Medan, yang kemudian menjadi pusat/markas Jama’ah Tabligh Medan. Maulana Ibrahim kemudian mencurahkan ilmunya pada Haji Jalaluddin, dan setelah ia yakin bahwa Haji Jalaluddin mampu mengembangkan Jama’ah Tabligh di Medan ia pun kembali ke negara asalnya. Haji Jalaluddin kemudian menjadi amir di Medan. Setelah ia meninggal jabatan amir diteruskan oleh anaknya Haji Badruddin.

Pengembangan dakwah yang berkesinambungan dan terus menerus menghasilkan perkembangan jumlah anggota Jama’ah Tabligh di Medan. Mesjid Hidayatul Islamiyah di jalan Gajah – yang kemudian lebih dikenal dengan Mesjid Jalan Gajah – menjadi sentra perkembangan jama’ah ini. Berbagai halaqah kemudian berdiri diberbagai daerah di Medan dan sekitarnya, misalnya di Tanjung Mulia, Paya Pasir, dan Batang Kuis.

Sampai saat ini sulit untuk memastikan jumlah anggota Jama’ah Tabligh di Medan. Hal ini karena Jama’ah Tabligh tidak mengenal sistem formalitas administrasi keanggotaan. Namun yang jelas anggotanya terdiri dari berbagai tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan mazhab atau aliran.

Struktur keorganisasi yang formal dan mengikat tidak dikenal di Jama’ah Tabligh, susunan keorganisasiannya didasarkan pada hirarki atau garis kerja jama’ah yang terdiri dari:

Hadraji : orang yang dihormati

Majelis syuro dan Zumidar : majelis musyawarah dan penanggungjawab di setiap negara, propinsi, dan kotamadya/kabupaten

Karkun : ahli dakwah pada beberapa mahalla yang senantiasa menghidupkan amal maqomi.

Musyawarah rutin dilakukan oleh setiap halaqah untuk menata kerja dakwah. Keterkaitan antara halaqah sampai tingkat hadraji dihubungkan oleh musyawarah mufakat.

Peraturan dalam Jama’ah Tabligh disebut adab atau ushul da’wah – inilah yang menjadi ciri khas Jama’ah Tabligh – yang meliputi:

Empat hal yang diperbanyak: dakwah, taklim, zikir ibadah, khidmat.

Empat hal yang harus dikurangi: makan-minum yang berlebihan, istirahat/tidur, berbicara yang sia-sia/tidak perlu, keluar/meninggalkan mesjid.

Empat hal yang harus dijaga: hubungan dengan amir dan jama’ah lainnya, amalan infiradi dan jama’I, kehormatan mesjid, sabar dan tahammul (tahan ujian).

Empat hal yang harus ditinggalkan: meminta kepada yang selain Allah, mengharap kepada yang selain Allah, menggunakan barang orang lain tanpa izin, boros dan mubajir.

Empat hal yang tidak boleh dibicarakan: politik, ikhtilaf, pangkat dan kedudukan, kebaikan atau jasa dan aib orang lain/masyarakat.

Aktifitas dan Metode Dakwah Jama’ah Tabligh di Medan

Aktifitas dakwah

Jama’ah Tabligh dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam selalu mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam Jama’ah Tabligh. Dakwah mereka sampaikan secara targhib (kabar gembira) yakni dengan memberikan informasi tentang hal-halyang membahagiakan apabila seseorang menjalani kehidupan sesuai dengan jalan Allah. Juga sebaliknya dengan tahrib (ancaman) yakni memberikan informasi tentang bentuk-bentuk penderitaan yang akan dialami seseorang yang keluar dari tuntunan Ilahi. Dari berbagai informan yang penulis temui orang-orang yang kemudian bergabung ke dalam Jama’ah Tabligh merasa peningkatan keimanan dan keislamannya dan meninggalkan perbuatan maksiat dan sia-sia.

Mereka mendakwahkan Islam kepada masyarakat tanpa mempersoalkan aliran, mazhab, dan khilafiah. Memakmurkan mesjid merupakan salah satu aktifitas khas Jama’ah Tabligh yang dilakukan dalam setiap waktu salât, baik saat mereka di rumah maupun saat mereka berdakwah keluar. Jama’ah Tabligh dalam memakmurkan mesjid dengan mengisi amalan mesjid seperti ta’lim wa ta’lum (mengajar dan belajar) yang biasa dilakukan setelah melaksanakan salât wajib. Amalan mesjid yang lain yang mereka lakukan bila mukim di suatu mesjid adalah membaca al-Qur’ân, salât tahajud, salât dhuha, dan lain-lain. Salât berjama’ah dimesjid merupakan amal yang sangat disiplin dilakukan oleh Jama’ah Tabligh baik saat berdakwah maupun saat di rumah. Pada umumnya sebelum azan mereka sudah datang ke mesjid. Bahkan ada sebagian Jama’ah Tabligh walaupun sedang berada di kenderaan umum mereka akan segera turun untuk ke mesjid bila mereka mendengar azan meski ia belum sampai ke tujuannya. Bagi Jama’ah Tabligh salât berjama’ah hukumnya wajib.

Zikir dan doa merupakan ibadah yang juga menduduki posisi penting bagi Jama’ah selain salât. Lafaz zikir yang selalu mereka lakukan adalah istighfar, tahmid, tasbih, takbir dan tahlil. Berdoa juga mereka lakukan secara teratur untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Mereka berdoa dengan memenuhi adab-adabnya, yaitu: menyesuaikan waktu, tempat dan situasi untuk berdoa, mengangkat tangan, menghadap kiblat, yakin bahwa doa akan terkabul.

Membudayakan salam merupakan aktifitas yang selalu dilakukan oleh Jama’ah Tabligh bukan saja terhadap sesama anggota tetapi juga terhadap sesama Muslim.

Setiap anggota Jama’ah Tabligh dilatih dengan pendekatan praksis untuk senantiasa beribadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. Mereka saling mengingatkan satu sama lain tentang pengamalan ibadah-ibadah ini. Setiap anggota dilatih untuk mampu menyampaikan risalah dakwah tanpa mengenal batasan tingkat pendidikan formal maupun keluasan ilmu pengetahuan keislaman yang dimiliki. Bagi Jama’ah Tabligh, berdakwah bukan hanya dalam batas peribadatan, tetapi juga dengan memberikan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam berakhlak.

Dalam bertutur sapa, Jama’ah Tabligh selalu memulai dengan menyebut asma dan sifat Allah. Misalnya mengucapkan Insya Allah bila berjanji atau merencanakan suatu kegiatan, alhamdulillah bila mendapatkan nikmat dan hal yang menyenangkan mereka atau menyenangkan orang lain, subhanallah bila mereka salut dan Allah Akbar bila mereka takjub akan kebesaran Allah. Dalam bertutur kata mereka cenderung randah hati, sopan dan menghargai pendapat orang lain, tidak cepat marah dan kalimat yang mereka ucapkan menyenangkan hati. Sedangkan dalam berbincang-bincang mengenai masalah agama dan dunia mereka seakan pasrah.

Dalam berpakaian dan berhias Jama’ah Tabligh lebih senang memakai gamis/jubah yaitu baju panjang sampai ke lutut dan dengan celana yang tidak sampai mata kaki. Karena mereka beranggapan bahwa memakai celana yang lewat mata kaki tempatnya di neraka. Jama’ah Tabligh mewajibkan bagi kalangan wanita mereka untuk menutup auratnya kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian ini mereka gunakan dalam semua aktifitas. Selain itu bagi laki-laki memakai lobe dan serban, namun lobe lebih sering digunakan untuk semua kegiatan sedangkan serban lebih sering digunakan saat mendengarkan pengajian. Mereka selalu menggunakan parfum yang bebas alkohol, menggunakan celak. Dalam menggosok bersugi, selain menggunakan sikat dan odol mereka juga menggunakan kayu siwak.

Dalam berjalan Jama’ah Tabligh selalu menundukkan kepalanya, hal ini dilakukan guna menghindarkan mata dari kemungkinan melihat hal-hal yang mungkar atau yang membangkitkan syahwat. Walaupun hal-hal semacam itu dinyatakan sebagai dosa kecil namun bila hal ini dilakukan terus menerus tentu dosa tersebut akan menjadi besar.

Dalam ta’lim mereka selalu mendekat dan merapat kepada nara sumber. Kegiatan ta’lim biasanya dilakukan setiap selesai salât fardhu. Umumnya salah seorang dari mereka menjadi “moderator” dan secara bergantian membaca kitab-kitab tertentu lalu mendiskusikannya. Bila mereka sedang muqim di suatu mesjid biasanya mereka akan memberikan ta’lim kepada jama’ah salât dengan menyampaikan satu hadits atau ayat al-Qur’ân. Dalam mendengarkan ta’lim mereka selalu menunduk, baik bila mereka memahami isi ta’lim maupun tidak.

Dalam Jama’ah Tabligh setiap anggota wajib memiliki sebuah buku, minimal Fadhilah Amal untuk bahan bacaan di rumah. Hal ini untuk menutupi sifat manusia yang pelupa agar tidak melupakan ajaran-ajaran Islam.

Saat makan mereka berkumpul membentuk lingkatan mengelilingi satu wadah – biasanya talam – dan mereka menggunakan tiga jari untuk menyuap nasi dan tidak menggunakan alat bantu makan seperti sendok, garpu. Adab duduk tatakala makan adalah menduduki kaki kiri dan kaki kanan dalam posisi seperti jongkok. Mereka tidak pernah menyisakan apapun dalam piring mereka, meskipun itu sebutir nasi. Sebagaian mereka hanya mempraktekkan cara makan ini tatkala di luar rumah, namun bila mereka berada di rumah mereka makan seperti umumnya orang lain makan, dengan lima jari atau menggunakan alat bantu makan, dan duduk bersila atau di atas kursi. Yang terasa dari makan bersama adalah pembentukan kebersamaan dan ukhuwah yang semakin tinggi.

Hidup sederhana merupakan gaya hidup yang harus dibentuk oleh setiap Jama’ah Tabligh. Kesederhanaan ini bukan saja dalam berpakaian dan makan, namun juga tidak membelanjakan harta dengan sia-sia tanpa manfaat bagi agama Islam.

Mengeluarkan harta di jalan Allah merupakan sikap yang terus menerus mereka pupuk dalam upaya menegakkan syiar dan kejayaan Islam.

Aktifitas-aktifitas lain yang mereka lakukan antara lain:

Musyawarah harian dan mingguan

Khususi, yaitu melakukan kunjungan atau silaturahmi dengan orang-orang islam yang ada di tempat yang mereka tuju.

Khuruj, yakni kegiatan dakwah yang dilakukan di luar lokasi tempat tinggal.

Jaulah, yakni kegiatan yang dilakukan secara berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk mengajak umat Islam salât di mesjid sekaligus untuk mendengarkan bayan atau ceramah agama yang disampaikan setelah salât fardhu.

Ta’lim, yakni penyampaian materi dengan menelaah kitab-kitab tertentu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan amal.

Bayan setelah salât fardhu. Ini dilakukan bukan saja saat mereka di Mesjid, sebagian anggota Jama’ah Tabligh juga melakukan bayan di rumah setiap hari, umumnya setelah salât Maghrib.

Malam markas, yaitu pertemuan yang dilakukan pada malam hari oleh anggota Jama’ah Tabligh. Kegiatan ini dilakukan seminggu sekali dimulai dari sesudah ‘Asar sampai menjelang Zuhur keesokan harinya.

Masturah, yakni kegiatan dakwah bagi sepasang suami istri. Bila wanitanya adalah anggota Jama’ah Tabligh dan suaminya bukan, maka ia harus menyertakan suaminya dan atau keluarga mereka yang wanita. Kegiatan ini hanya boleh dilakukan bagi mereka yang sudah berkeluarga dan disertai suami.

Bila diuraikan secara spesifik, metode atau cara-cara yang diterapkan Jama’ah Tabligh dalam transformasi ajaran Islam untuk mencapai tujuan dakwah antara lain:

Metode uswah/teladan
Metode ceramah
Metode mengajak.
Metode muzakarah.
Metode taskil
Metode dor to dor
Metode maw’idzah/pengajaran
Metode Tabsyir
Metode indzâr
Metode Kisah-kisah.
Metode Nasihat.
Metode Pembiasaan.

Respon Masyarakat

Respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

Menolak

Tingkat penolakan yang paling ekstrim adalah yang menyatakan bahwa Jama’ah Tabligh adalah aliran sesat, sebagian menyatakan bahwa Jama’ah Tabligh tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini mereka nyatakan karena melihat fenomena bahwa sebagian anggota Jama’ah Tabligh yang mengabaikan dan menelantarkan keluarga, menelantarkan studi, dan meninggalkan pekerjaan.

Menerima secara aktif.

Anggota masyarakat jatuh cinta kepada gerakan dakwah Jama’ah Tabligh dan kemudian mengikuti kegiatan dakwah saat mereka berdakwah di lokasi tempat tinggalnya. Ini kemudian diteruskan dengan keikutsertaannya menjadi anggota Jama’ah Tabligh. Mereka yang menerima aktif ini dapat dikategotikan dalam tiga latar belakang:

Golongan yang memang sudah menjalankan ibadah Islam dengan baik namun kemudian merasakan kelezatan iman yang lebih tinggi saat mengikuti kegiatan dakwah Jama’ah Tabligh.

Golongan yang masih labil pelaksanaan ajaran Islam yang kemudian termotivasi karena selama pergaulannya dengan anggota Jama’ah Tabligh mengalami pengingkatan keislaman dan keimanan.

Golongan yang sama sekali tidak mengamalkan ibadah atau ajaran Islam dan bahkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang kemudian selama pergaulan dengan anggota Jama’ah Tabligh mengalami pencerahan spiritual.

Menerima dengan pasif.

Yakni anggota masyarakat yang tercerahkan dengan kehadiran Jama’ah Tabligh dan selalu hadir dalam pengajian Jama’ah Tabligh di daerahnya namun tidak terlibat aktif dalam aktifitas dakwah.

Acuh tak acuh.

Ini adalah golongan yang baginya ada atau tidak Jama’ah Tabligh di daerahnya dia tidak ambil pusing, tidak menolak dan tidak menerima, dan tidak memberikan komentar dan respon apapun.

Kritik masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh adalah: Pertama, Jama’ah Tabligh hendaknya sebelum melakukan dakwah keluar meninggalkan nafkah yang cukup untuk keluarga, dan bagi yang sudah berkeluarga hendaknya tidak meninggalkan keluarga lebih dari satu minggu. Kedua, Jama’ah Tabligh jangan melupakan membimbing keluarga dalam keislaman, jangan terlena mendakwahi orang lain tapi melupakan keluarga. Ketiga, tidak membolehkan anak-anak turut dalam kegiatan dakwah karena hal ini memberatkan anak-anak khusunya bagi anak-anak yang masih bersekolah. Keempat, hanya membolehkan para pelajar berdakwah keluar saat mereka sedang libur sekolah. Kelima, menekankan kepada anggotanya akan pentingnya pencapaian dunia, kesalahan bukan terletak pada pencapaian dunia melainkan pada penggunaan pencapaian dunia itu untuk tujuan di luar jalan Allah. Keenam, tidak membolehkan anggota yang pengetahuan keislamannya rendah berdakwah karena dapat menyesatkan umat. Ketujuh, mengarahkan anggotanya pada rujukan-rujukan sumber ajaran Islam, al-Qur’ân dan Hadits yang benar, bukan hadits-hadits yang lemah apalagi palsu. Kedelapan, meskipun Jama’ah Tabligh tidak membicarakan dan terlibat politik namun harus memberikan kemerdekaan bagi anggotanya untuk berkegiatan politik, karena kekuasaan itu juga dapat digunakan untuk penyebaran Islam, khususnya untuk menegakkan khilafah islamiyah. Kesembilan, upaya mewajibkan anggota untuk bertaqlid bertentangan dengan ititba’. Kesepuluh, Jama’ah Tabligh terlalu terfokus pada kesalehan individual dengan mengabaikan aspek-aspek politik, jihad, dan ekonomi. Kesebelas, Jama’ah Tabligh terlalu sempit dalam memahami dakwah yang terbatas pada bidang yang parsial dan tidak universal. Dan pola dakwah yang mereka terapkan masih konservatif dengan hanya melanjutkan dan mempertahankan segala sesuatu yang menjadi kebiasaan Rasulullah saw tanpa ada usaha untuk melakukan ijtihad dengan menyesuaikan dengan keadaan yang berlaku di zaman sekarang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai lembaga dakwah yang berasal dari Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India., Jama’ah Tabligh terdiferensiasi dengan lembaga-lembaga lainnya dalam beberapa hal:

Lahir bukan atas latar belakang politis dan menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan politik dan bahkan melarang anggotanya untuk tidak terlibat dalam politik.

Garis kerja dakwah (hirarki) tidak sama dengan lembaga lain baik dalam sistem dan peraturannya, serta kualitas pengorbanan harta, jiwa, raga, dan waktu dalam berdakwah.

Sikap dan prilaku yang diaktualisasikan sebagai Muslim dengan menjalankan amalan-amalan wajib dan sunnah serta meninggalkan hal-hal yang sia-sia/tidak bermanfaat selama 24 jam.

Karakteristik kepribadian islami yang kemudian menjadi budaya jama’ah tercermin dari ketulusan hati, tanggung jawab, integritas, kejujuran, kecermatan, menepati janji, mengontrol diri, rendah hati, sabar, tabah, berani, sederhana, kerja keras dan persaudaraan. Kesemuanya tertuang secara melembaga dalam adab-adab ushul dakwah, khidmat, ikrâm, dan tasykil.

Selain dakwah melalui komunikasi kepada masyarakat mereka juga berdakwah melalui pelestarian nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dimana mereka berada.

Perilaku interpersonal anggota Jama’ah Tabligh memberikan penguatan (reinforcement) dan dorongan dalam mewujudkan interaksi kelompok dalam keberagamaan.

Realisasi ajaran-ajaran Islam yang dilakukan bukan sekedar ritual mekanis melainkan lebih dari itu merupakan upaya pelestarian dan perbaikan individu dan masyarakat.

Dalam transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam Jama’ah Tabligh menerapkan berbagai metode dakwah.

Dari sisi transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam, Jama’ah Tabligh mengaplikasikan behavioral learning ini sebagai berikut:

Pengalaman-pengalaman baru yang dibentuk adalah pengalaman-pengalaman yang melahirkan ketenangan jiwa dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam, yang selanjutnya menghasilkan internalisasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam dalam diri setiap Muslim.

Asosiasi baru yang dibentuk adalah asosiasi yang positif dan membahagiakan antara kognisi, afeksi, emosi, dan psikomotor seorang Muslim dengan agama Islam.

Kecenderungan baru yang akan dibentuk adalah kecenderungan untuk selalu menggapai ridha Ilahi dengan melakukan amalan-amalah shalih dimanapun berada, baik di rumah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, mesjid, lingkungan belajar, Dan sebagainya.

Habitat baru yang dibentuk adalah habitat /masyarakat terbaik atau masyarakat Muslim yang menyahuti tuntutan Allah.

Dalam mengkaji respon masyarakat terhadap Jama’ah Tabligh harus dilihat secara objektif, terbuka, toleran, dengan pemaham luas tentang Jama’ah Tabligh, dan dengan melihat latar belakang anggotanya secara individual. Hal ini perlu, mengingat pandangan negatif tentang Jama’ah Tabligh sebagian dihasilkan karena kesalahan generalisasi, yakni menjadikan kasus perorangan berlaku untuk semua anggota Jama’ah Tabligh.

Secara umum, hasil yang dicapai bagi setiap individu dan masyarakat sasaran dakwah Jama’ah Tabligh dapat dirangkumkan sebagai berikut:

Masyarakat semakin gemar melakukan amal ibadah.
Salât berjamaah semakin hari semakin hidup di mesjid.
Peningkatan jumlah jama’ah mesjid.
Suasana keislaman di masyarakat mulai hidup.
Penurunan tingkat kenakalan remaja
Semangat menggali pengetahuan keislaman semakin tinggi
Peningkatan ukhuwah islamiyah dan silaturahmi.

Dari pantauan berkala di masyarakat, penulis melihat bahwa hasil di atas relatif tidak permanen bagi sebagian besar anggota masyarakat. Beberapa hari setelah Jama’ah Tabligh meninggalkan lokasi, hanya sebagaian kecil anggota masyarakat yang tetap menunjukkan hasil pendidikan dakwah Jama’ah Tabligh tersebut. Namun bagi warga masyarakat yang kemudian terus mengikuti kegiatan dakwah mereka dan apalagi bagi anggota Jama’ah Tabligh hasil di atas bersifat permanen, bahkan terus menerus ditingkatkan.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prilaku dalam bentuk aktifitas keagamaan yang dibudayakan Jama’ah Tabligh merupakan salah satu bentuk terapi kesehatan jiwa dari perspektif Psikologi Agama. Mereka adalah orang-orang yang telah didakwahi dan kemudian mendakwahi, diobati dan kemudian mengobati, diishlahkan kepribadiannya dalam pelukan iman dan kemudian mengishlahkan orang lain. Mereka adalah orang-orang yang meleburkan ego individunya dan membentuknya menjadi suatu impresi keanggotaan kolektif. Sehingga dakwah yang dilakukan tidak lagi dipandang sebagai aktifitas individu melainkan aktifitas kelompok. Kebanggaan individu lebur menjadi kebanggaan kelompok yang selanjutnya akan membentuk kebanggaan keislaman. Dari sisi ini dan dari sisi bahwa aktifitas-aktifitas Jama’ah Tabligh menyebar di masyarakat, maka dapat dikatakan mereka adalah “dokter” kesehatan jiwa masyarakat.

Pustaka Acuan

Baron, Robert A. dan Donn Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, Edisi VI, Boston: Allyn and Bacon, 1991.
Bischof, Ledford J., Adult Psychology, edisi 2. New York: Harper and Crow, 1976.
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor, Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian, terj. A. Khozin Afandi, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, Macon, Georgia, Mercer University Press, 1986.
David, Linda L., Introduction to Psychology, edisi 3, New York: McGraw-Hill, Inc., 1976.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, jilid 2, Jakarta: Anda Utama, 1993.
Erikson, E. H., The Life Cycle Completed: A Review, New York: W.W. Norton, 1982.
Frager, Robert, Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance and Harmony, terj. Hasmiyah Rauf, Jakarta: Serambi, 2002.
Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion, New Haven: Yale University Press, 1950.
Fromm, Erich, The Art of Loving, New York: Harper and Row, 1956.
Gazalba, Sidi, Mesjid Sebagai Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1975.
Goldman, Ronald, Religious Thinking from Childhood to Adolescence, New York: Seabury Press, 1964.
Hassan, A., Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 1983.
Henderson, Joseph L., Cultural Attitudes in Psychological Perspective, Toronto: Inner City Books, 1983.
Huberman, A. Michael dan Mathew B. Miles Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press, 1992
Hurlock, Elizabeth B., Developmental Psychology: A Life Span Approach edisi V, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta: Erlangga, 1994.
Ibrahim, Edi Subandy, dkk, Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Populer dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Bandung: Mizan, 1997.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
an-Nadwi, Abul Hasan Ali, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, edisi terjemahan, cet 1, Darun Nukman: Kuala Lumpur, 1991.
O’Dea, Thomas F., The Sociology of Religion, New Jersey: Prentice Hall, 1966.
Piaget, Jean Piere, The Moral Judgment of the Child New York: Harcourt, Brace and World, 1932.
Scobie, Geoffrey E.W., Psychology of Religion, London: B.T. Batsford, 1975.
Spilka, Bernard, dan Daniel N. McIntosh, The Psychology of ReligionL Theoritical Approach, Colorado: Westview Press, 1997.
Tajfel, Henri, The Social Dimension, jilid I, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
Thoules, Robert H., An Introduction to Psychology of Religion, Cambridge: Cambridge University Press, 1979.
Weiten, Wayne, Psychology Applied to Modern Life, Edisi II, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985.
Yinger, J.M., Religion, Society and the Individual, New York: Macmillan, 1957.

PENELITIAN UGM MENGENAI JAMAAH TABLIGH

(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam 4th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia July 12-15, 2005 di UI Jakarta).

A. PENDAHULUAN

Makalah ini berusaha mengkaji fenomena gerakan dakwah Islam yang menamakan dirinya “Jama’ah Tabligh”. Komunikasi terjadi antara saya dengan anggota Jama’ah Tabligh ketika mereka secara sengaja mendatangi rumah saya di Yogyakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun, sudah sekitar 4 kali Masjid di tempat saya tinggal didatangi oleh Jama’ah Tabligh. Setiap kali anggota Jama’ah Tabligh menginap di Masjid dekat rumah saya, mereka hampir tiap malam datang ke rumah saya dan rumah-rumah tetangga yang bergama Islam. Ada beberapa keunikan yang menjadi identitas Jama’ah Tabligh, mulai dari penampilan, cara berpakaian, kebiasaan keluar rumah untuk berdakwah selama berhari-hari, cara makan bersama, metode berdakwah, hingga menghindari politik dan kekerasan dalam berdakwah Islam.

“Jama’ah” secara harfiah sering disamakan dengan kelompok atau bersama-sama, misalnya sholat berjama’ah artinya sholat bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh para makmum. Kata “tabligh” adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dari empat sifat beliau (sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan). Tabligh atau menyampaikan dalam hal ini adalah menyampaikan dakwah ajaran-ajaran agama Islam kepada orang lain. Hal ini kalau kita bahas tentang asal kata dari Jama’ah Tabligh. Pada aspek penampilan, cara berpakaian para karkun (bhs. India) yaitu para aktifis Jama’ah Tabligh tampak khas.

Para lelaki biasanya berpakaian dominan warna putih dengan baju “Afghani clothes” atau baju Afghanistan yang biasa dipakai oleh orang-orang Afganistan, India, Pakistan, dan Banglades. Ada juga warna baju lain seperti coklat, biru, hitam, dll. Baju ini berlengan panjang, dan menjulur ke bawah sampai lutut dengan belahan disisi kiri bawah dan kanan bawah. Istilah model baju ini saya dengar dari laki-laki pedagang baju di Mekah saat kami sekeluaraga pergi haji ke Mekah pada tahun 1998. Menurut si pedagang baju itu, Afghani clothes berbeda dengan “gamis” yang biasa dipakai oleh para pria Arab. Gamis adalah baju yang menjulur ke bawah sampai hampir menutupi mata kaki, biasanya berwarna putih dan berlengan panjang. Para istri dari karkun ini biasanya berjilbab dan memakai cadar (penutup wajah), mereka lebih banyak tinggal di rumah dan menjadi manajer rumah tangga. Para suami lebih banyak berada di luar rumah untuk mencari rejeki dan berdakwah agama Islam.

Jama’ah Tabligh didirikan oleh Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy pada tahun 1920-an (?) di Uttar Pradesh, India. Sebagian besar pengikutnya berada di India, Pakistan, dan Bangladesh. Sejak 1980-an organisasi dakwah ini melebarkan sayapnya ke Timur Tengah, Asia Tenggara (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand), Australia, dan Amerika (Majalah GATRA, 27 November 2004). Walaupun para pengikut Jama’ah Tabligh berasal dari berbagai negara akan tetapi gaya berpakaian mereka cenderung sama yaitu lebih suka memakai Afghani clothes, dari pada memakai gamis.

B. PEMBAHASAN

Berawal dari sebuah peristiwa saat mengikuti kursus persiapan masuk perguruan tinggi di Yogyakarta, salah satu tentor mengajak dan setengah memaksa kepada saya untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saat itu saya tidak mau. Lain waktu tetangga saya juga pernah mengajak dengan setengah memaksa untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saya tetap tidak mau dengan berbagai alasan yang saya sampaikan.

Mulai saat itu saya bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya pengajian di tempat itu model pengajian seperti apa ? Apakah sebuah pengajian Islam sempalan seperti yang banyak dibicarakan orang? Pertanyaan itu terjawab setelah beberapa tahun berlalu yaitu pada saat saya telah hampir selesai kuliah di Jurusan Antropologi UGM. Beberapa orang laki-laki dengan baju khas dan sebagian memakai sorban (ikat kepala) dengan membawa alat-alat masak serta perlengkapan makan mohon ijin kepada pemuka masyarakat untuk bermalam sekitar 3 hari di Masjid Kampung saya tinggal.

Ketua Takmir Masjid dan Ketua RW pada awalnya ragu-ragu karena penampilan para pendatang itu terlihat asing, mungkin ada perasaan khawatir dan curiga menghinggapi perasaan para tokoh masyarakat di kampung saya itu. Ketika wakil dari orang-orang asing itu datang ke rumah saya untuk minta ijin kepada saya karena saya sebagai ketua pemuda kampung, saya langsung mengijinkan. Dalam pikiran saya inilah kelompok pengajian yang dahulu setengah memaksa saya untuk bergabung dengan mereka, saat inilah saya bisa tahu lebih banyak keberadaan mereka.

Di depan jama’ah sholat magrib setelah sholat berlangsung, saya katakan bahwa “innamal mukminuna ikhwah, bahwa semua orang Islam itu bersaudara” sehingga saudara yang datang dari jauh perlu disambut kedatangannya. Akhirnya diterimalah mereka menginap di masjid kami, akan tetapi ada juga satu dua warga yang tetap curiga dan menolak mereka walaupun pendapat mereka ini tidak bisa diwujudkan. Kecurigaan terhadap sesama orang Islam ini karena didasari oleh ketidaktahuan, lebih dari itu adalah wacana yang dikembangkan pada jaman Orde Baru bahwa Islam di Indonesia hanya ada 2 yaitu Islam tradisional yaitu NU dan Islam modern yaitu Muhamadiyah.

Dikotomi Islam yang mengkutub pada Gerakan Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama yang menjadi simbol Islam Modernis dan Islam Tradisional selama puluhan tahun telah menjadi wacana baku dalam mengkaji Islam di Indonesia. Orang selalu saja mengkaitkan Islam dengan Muhamadiyah dan NU. Jika ada gerakan atau kelompok di luar Muhamadiyah dan NU maka akan segera dicap sebagai Islam sempalan, dan lebih ekstrem lagi dicap sebagai Islam aliran sesat yang harus dilarang dan dibubarkan. Mengapa Muhamadiyah dan NU menjadi mainstream wacana Islam di Indonesia? Apakah karena jumlah masa yang besar ?

Jawabannya, bahwa Muhamadiyah dan NU selain karena jumlah masanya yang besar, juga karena kedua organisasi Islam itu mau mendukung penguasa Orde Baru. Beberapa orang pemerintah ditempatkan menjadi pengurus di kedua organisasi itu. Penerimaan Pancasila oleh Muhamadiyah dan NU sebagai satu-satunya azas adalah simbol ketundukan kedua organisasi itu terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam konteks ini Pancasila diposisikan sebagai totem, atau malah sebagai sebagai “agama” yang dipaksakan oleh oleh pemerintah untuk diterima oleh semua lapisan masyarakat. Pada sebagian orang muslim fenomena itu adalah proses pemusrikan pada orang Islam di Indonesia.

Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 yang membuka kran keterbukaan termasuk dalam beragama Islam, mulailah bermunculan gerakan Islam di luar mainstraim NU dan Muhamadiyah. Contoh gerakan itu antara lain; Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dengan Laskar Jihad-nya, FPI, Majlis Mujahidin, Jama’ah Tabligh, dll. Reformasi 1998 juga telah memutar pendulum wacana Islam di Indonesia dari wacana Islam tradisional vs Islam modern, bergeser menjadi wacana Islam kaaffah vs Islam moderat.

Berbagai kelompok Islam ini–walau tidak semuanya–mewakili sayap Islam kaffah yaitu berusaha mengimplementasikan syariat atau ajaran Islam ke dalam hidup sehari-hari secara kaaffah atau secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam coba mereka aplikasikan dalam kehidupan di dalam rumah tangga, di dalam proses perdagangan/perniagaan, di kantor, atau di tempat-tempat umum seperti terminal atau bandar udara secara damai dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Sikap toleransi sosial (tasamuh) juga hidup subur di dalam komunitas Islam ini. Di sisi lain seperti NU dan Muhamadiyah dan yang lain menempatkan diri pada posisi Islam moderat, yang ingin menerapkan ajaran atau syariat Islam dengan menyesuaikan kondisi masyarakat kekinian. Gerakan Islam Liberal yang dipelopori oleh Ulil Absar Abdalla di Jakarta juga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih mendalam pada kesempatan lain.

Jama’ah Tabligh dalam hal ini termasuk pada posisi Islam kaafah. Kelompok-kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Salafi, FPI, Majlis Mujahidin, atau Jama’ah Tabligh dll. tidak semuanya berdiri setelah Orde Baru tumbang. Sebagian sudah ada dan berdakwah secara bawah tanah serta melakukan kaderisasi secara intensif, misalnya Gerakan Tarbiyah yang sudah muncul sejak tahun 1970-an secara bawah tanah dan meminjam model pembinaan kader dari model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan Tarbiyah ini pada awal kemunculannya di tahun 1998 melalui “wajah” KAMMI (Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) dengan ketuanya Fahri Hamzah, kader jebolan Gerakan Tarbiyah.

KAMMI yang diback-up para senior Gerakan Tarbiyah bertransformasi menjadi Partai Keadilan (PK). PK tidak mencapai electoral thresshold pada pemilihan umum 1999 sehingga bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Organisasi Salafi juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru dengan pusatnya di Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah di Sleman Yogyakarta di bawah pimpinan Ustadz Ja’far Umar Tholib. Di bawah Ja’far Umar Tholib organisasi ini menjadi terkenal karena pembentukan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ) yang dikirim ke medan perang di Ambon dan Maluku.

Ada juga Salafi yang berpusat di Pondok Pesantren Jamilurrohman di Jalan Imogiri Bantul Yogyakarta di bawah Ustadz Abu Nida. Jama’ah Tabligh juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru, di Yogyakarta pusat aktifitasnya adalah Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang di dekat kampus UGM Yogyakarta. Ini adalah contoh beberapa gerakan atau organisasi yang selamat dari tangan kejam pemerintah Orde Baru. Gerakan Islam atau kelompok Islam yang pernah dihancurkan oleh pemerintah karena dicap sebagai Islam sempalan misalnya adalah kelompok Islam di Lampung yang dipimpin oleh Warsidi. Kelompok ini kemudian diberi stigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi, diserbu oleh aparat keamanan dan yang masih hidup dibawa ke pengadilan.

Contoh lain adalah kelompok Haur Koneng di Jawa Barat juga dibubarkan oleh pemerintah, atau Islam Jama’ah yang kemudian berganti nama menjadi LEMKARI dan kini bernama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Istilah GPK adalah stigma yang dipropagandakan oleh pemerintah orde baru sehingga berlanjut dengan terbentuknya public opinion, bahwa pihak yang dicap sebagai GPK memang musuh pemerintah, musuh negara, dan musuh masyarakat sehingga harus dihancurkan. Ternyata masyarakat biasanya mendukung sikap pemerintah itu. Stigma atau label sebagai GPK identik dengan istilah ekstrimis pada jaman perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Rakyat Indonesia yang melawan pemerintah kolonialis Belanda dengan mengangkat senjata dicap sebagai kaum ekstremis oleh penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pasca Perang Dunia II.

Istilah ekstremis ini diadopsi oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dengan munculnya stigma ekstrem kiri bagi pihak oposisi yang berbasis pada pemikiran sosialisme dan marxisme, dan ekstrem kanan bagi oposan dengan basis pemikiran dari ajaran Agama Islam. Pada era kekinian terjadi metamorfosis stigma yaitu kaum teroris bagi umat Islam yang berani melawan peradaban Barat dengan mengangkat senjata. Berbagai stigma di muka apabila kita lihat secara teliti ternyata terdapat pola yang sama. Stigma sebagai ektremis, ektrem kanan dan ekstrem kiri, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), maupun teroris pada dasarnya diciptakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Logika kekuasaan di mana kekuasaan yang ada di tangan mereka selalu terancam oleh pihak oposisi, memotivasi para penguasa untuk meniadakan penentangan dan perlawanan dengan cara yang keras dan kejam terhadap para penentang penguasa.

Kaum oposan yang telah berani melawan pemegang kekuasaan karena kekuasaan dianggap telah membelenggu dan menindas mereka, sebelum secara fisik dihancurkan oleh para penguasa maka terlebih dahulu dihancurkan citranya (image-nya) dengan membentuk opini publik. Apabila opini publik telah terbentuk di masyarakat secara luas maka penghancuran fisik seperti penyerbuan oleh aparat keamanan dan menyeret ke pengadilan terhadap para penentang pemerintah ke pengadilan. Di sini opini publik berfungsi sebagai alat legitimasi bagi penindasan oleh penguasa terhadap kaum oposan. Terbentuknya opini publik tidak bisa dilepaskan dari peran media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik. Media massa menjadi jembatan yang menghubungkan dan menyebarluaskan opini dari pembuat opini kepada khalayak.

Opini publik tentang Jama’ah Islamiah (JI) yang dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini oleh banyak penguasa di berbagai negara di Asia Tenggara, sedikit banyak ternyata mendapat counter opinion (opini tandingan) dari masyarakat Islam secara luas. Diksi atau pilihan kata Jama’ah Islamiyah mungkin saja terdapat maksud untuk menggiring memori masyarakat terhadap organisasi Islam Jama’ah yang berpusat di Kediri, Jawa Timur pada masa Orde Baru. Karena memiliki citra buruk maka Islam Jama’ah berganti nama menjadi LEMKARI, kemudian berubah lagi menjadi LDII sampai sekarang. Sebagai siasat untuk bisa tetap eksis maka LDII berlindung di bawah GOLKAR dan massa LDII menjadi underbow GOLKAR. Jama’ah Islamiyah berbeda dengan Islam Jama’ah yang citranya buruk.

Terlepas ada atau tidak organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara, di balik frase Jama’ah Islamiyah terkandung makna bahwa Jama’ah Islamiyah itu artinya adalah kelompok, golongan atau semua orang yang beragama Islam. Ketika Jama’ah Islamiyah yang maknanya secara luas adalah “semua orang Islam”, dicap sebagai kaum teroris maka banyak orang yang buta politik seperti saya, merasa sakit hati terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Umat Islam yang berusaha melaksanakan ajaran Islam secara baik dengan mencintai Allah (hablumminallah) dan mencintai sesama manusia (hablumminannas) mengapa dikatakan sebagai kaum teroris yang menghancurkan kehidupan manusia?

Jama’ah Tabligh yang menjadi sentra kajian tulisan ini juga telah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Jamaah Tabligh di mata saya adalah sebuah gerakan penyebaran agama Islam yang berusaha terus menerus merekrut anggota dengan jalan persuasif. Selama kurun waktu 8 tahun kelompok jamaah Tabligh ini sudah sekitar 4 sampai 5 kali menginap di masjid kampung saya untuk menyebarkan dakwah Islam. Model dakwah mereka ada yang dinamakan “jaulah” dan “khuruj”. Jaulah adalah berkeliling mendatangi rumah-rumah orang Islam yang terletak di sekitar masjid tempat para karkun itu menginap. Mereka ini bersilaturahmi (menjalin hubungan persaudaraan) dan kemudian menyampaikan kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Khuruj adalah keluar atau meninggalkan lingkungan sehari-hari dengan tujuan menyampaikan dakwah Islam. Bisa saja mereka meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan keluarga, meninggalkan pekerjaan, dan secara berjamaah pergi ke luar kota, atau keluar propinsi atau bahkan ke luar dari batas negara. Biasanya mereka berkhuruj selama 3 hari dalam satu bulan, 40 hari dalam satu tahun, atau 4 bulan selama seumur hidup.

Para karkun yang sering mengunjungi rumah saya di Yogyakarta sering berdiskusi sampai larut malam tentang berbagai hal terutama yang berhubungan dengan Islam. Mereka ada yang datang dari Yogyakarta, dari Jakarta, dari Lampung, atau dari Medan Sumatera Utara. Mereka berpandangan bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik, maka berbahagialah orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya. Mereka selalu mengajak memeluk ajaran Islam secara kaaffah yaitu menyeluruh, utuh, atau tidak sepotong-sepotong yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. “Udkhullu fisilmi kaaffah = masuklah ke dalam Islam secara kaaffah”, kata mereka dengan mngutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an. Mereka selalu saja tidak henti-hentinya mengajak solat wajib berjamah di masjid bagi laki-laki, selalu berbuat baik kepada sesama manusia tanpa membedakan agama, meninggalkan larangan-larangan agama, dan mereka juga tidak pernah mengatakan bahwa mereka berasal dari organisasi dakwah bernama Jama’ah Tabligh, mereka selalu mengedepankan kesatuan Islam.

Mungkin saja dengan meminggirkan identitas golongan mereka, mereka bertujuan untuk tidak terjebak pada perdebatan antar kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa dan penampilan yang rendah hati dan mempesona lawan bicara, mereka ini selalu menghindarkan diri dari khilafiyah (beda pendapat) dan menghindarkan diri dari siyasah (politik praktis). Walaupun tidak berpolitik praktis, akan tetapi pada saat memilih pemimpin mereka bermusyawarah dan bermufakat. Pemimpin bisa dipilih dengan cara itu, dan bisa diganti dengan cara yang sama. Siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan memiliki sifat-sifat sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan. Seperti halnya pada saat solat berjamaah maka siapa saja bisa menjadi imam asalkan bisa melafalkan ayat-ayat Qur’an, dalam kondisi yang baik, dan dianggap mampu oleh makmum.

Dari fenomena Jamaah Tabligh ini apabila ada yang mengatakan bahwa sistem kekuasaan Islam itu anti demokrasi dan otoriter, tentu itu adalah pendapat yang sangat keliru. Sistem demokrasi “masyarakat Barat” seharusnya berani membuka hati bahwa secara antropologis, masyarakat Islam juga memiliki tata cara dan sopan santun dalam berdemokrasi. Masyarakat Islam tidak perlu dipaksa-paksa untuk menganut sistem “demokrasi ala Barat”. Bahkan secara ekstrem mereka orang Islam dicap sebagai kaum teroris yang harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi, hanya karena berusaha mempertahankan identitas sebagai masyarakat muslim.

Untuk kasus ini tentu saja para antropolog sedunia harus ikut turun tangan untuk memberikan penjelasan-penjelasan rasional, sistematis, dan jernih kepada para “pendekar demokrasi” ala Barat mengenai kerangka berpikir masyarakat muslim. Masyarakat muslim tentu tidak akan memerangi masyarakat penganut demokrasi barat apabila masyarakat muslim tidak “diganggu” kehidupannya. Kasus Jamaah Tabligh menunjukkan bahwa mereka selalu menghindari perbedaan pendapat, apalagi yang menjurus pada benturan fisik.

Bayan (ceramah, pengajian) yang disampaikan oleh ustadz tiap sehabis solat berjamaah yang dilakukan secara rutin pada komunitas Jama’ah Tabligh, biasanya berisi 6 hal standar yaitu; 1) keutamaan Laaillahaillallah Muhamadarrosulullah, 2) membesarkan nama Allah dengan cara menjalankan sholat secara khusuk, 3) ilmu dan dzikir, 4) ikram atau memuliakan sesama manusia, 5) mengikhlaskan niat, dan 6) pentingnya setiap muslim melakukan dakwah dan tabligh (Majalah GATRA, 27 November 2004).

Dari materi dakwah ini kita bisa melihat bahwa Jama’ah Tabligh tidak mengajarkan ummat Islam untuk memusuhi orang lain, tetapi selalu mengajarkan kebaikan. Para antropolog jangan mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan oleh Snouk Horgronye seorang antropolog dari Belanda. Dia menyumbangkan ilmu antropologinya untuk terjadinya pembantaian Rakyat Aceh dan berujung pada penindasan dan penjajahan oleh Belanda terhadap Rakyat Aceh. Penulisan buku “Pedang Samurai dan Bunga Seruni (The Chrysanthemum and The Sword)” oleh seorang antropolog wanita dari Amerika Ruth Benedict, yang kemudian menjadi awal penghancuran Bangsa Jepang pada Perang Dunia II, tidak perlu diulangi oleh para antropolog kekinian.

Para antropolog jangan bersedia menjadi ahli kebudayaan tentang masyarakat Muslim yang telah diberi stigma sebagai teroris, demi kepentingan pemerintah Amerika, yang bisa berujung pada penghancuran masyarakat Muslim.

C. KESIMPULAN

Jama’ah Tabligh adalah potret dari gerakan dakwah Islam kekinian yang bersifat lintas negara. Islam yang terlihat pada wajah Jama’ah Tabligh adalah santun, rendah hati, dan cenderung menghindari khilafiyah (beda pendapat). Para aktivis Jama’ah Tabligh (karkun) secara rajin dan kontinyu ber-khuruj untuk menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang mempesona, agar Islam menjadi sistem hidup para pemeluknya di dalam kehidupan sehari-hari. Agar pemeluk agama Islam melaksanakan ajaran Islam secara kaaffah, secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar