Semoga kesalahan ini hanya kesalahan dipercetakan, bukan unsur kesengajaan. Dan semoga bermanfaat bagi ikhwah Salafi maupun ikhwah sarungan/tradisional dapat mengambil manfaat. Dan selalu memunculkan sikap kritis dan teliti dalam membaca Karya Para Ulama. Di bagian akhir catatan ini dicantumkan munaqasyah dengan perkataan Imam Abu Khanifah,
Imam Sufyan Ibn ‘Uyainah, Imam Hammad Ibn Zaid, al-Hafizh Abu Ja’far
al-Thahawi, al-Hafizh al-Khithabi, Imam Abu Muhammad al-Muzni (guru Imam
al-Hakim), al-Hafizh al-Baihaqi dan al-Hafizh Ibn al-Jawzi.
Bermula dari bolak-balik buku
karya Ibn Taimiyyah di kamar asrama; Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah,
guna mencari bahan tugas akhir kuliah. Kejanggalan teks tiba-tiba
terasa, pertama antara pembahasan sebelumnya agak terasa rancu dan tidak
selaras dengan pembahasan setelahnya, kedua antara kata sebelum dengan
sesudah terjadi jarak yang agak mencolok. Minhaj al-Sunnah ini adalah
milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.
Rasa penasaran itu membawa
hasrat untuk memastikan hal ini. Sorenya langsung berangkat ke
Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Akhirnya
kitab yang sama ditemukan, namun dengan cetakan berbeda. Cetakan yang
dimiliki perpustakaan Darussunnah adalah Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah (sama
dengan cetakan al-Ibanah yang kehilangan teks) 2 jilid font kecil,
sementara yang dimiliki UIN adalah cetakan Mu’assasah Qurthubi 8 jilid
font besar.
Sedikit rumit melakukan
pencarian lantaran daftar isi tampil beda antara dua cetakan.
Alhamdulillah hal yang dicari ditemukan. POSITIF, dengan perbandingan
dua kitab, ternyata teks itu betul-betul hilang. Dengan analisa awal
barangkali teks itu tidak banyak, namun fakta berkata lain.
Teks
yang hilang (Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat -arah-) dalam
kitab Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah (dengan Hâmisy Bayân Muwâfaqah
Sharîh al-Ma‘qûl li Shahîh al-Manqûl), cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz.1, hal.217, (teks yang benar-benar panjang untuk dilenyapkan mencapai 210 kata, 833 huruf), na‘ûdzu billah;
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah. Milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.
Teksnya sebagai berikut;
ونفاة لفظ الجهة يذكرون من أدلتهم أن الجهات كلها مخلوقة وأنه كان قبل الجهة وأنه من قال إنه في جهة يلزمه القول بقدم شيء من العالم أو أنه كان مستغنيا عن الجهة ثم صار فيها وهذه الأقوال ونحوها إنما تدل على أنه ليس في شيء من المخلوقات سواء سمى جهة أو لم يسم وهذا حق، فإنه سبحانه منزه عن أن تحيط به المخلوقات أو أن يكون مفتقرا إلى شيء منها العرش أو غيره ومن ظن من الجهال أنه إذا نزل إلى سماء الدنيا كما جاء الحديث يكون العرش فوقه ويكون محصورا بين طبقتين من العالم فقوله مخالف لإجماع السلف مخالف للكتاب والسنة كما قد بسط في موضعه وكذلك توقف من توقف في نفى ذلك من أهل الحديث فإنما ذلك لضعف علمه بمعانى الكتاب والسنة وأقوال السلف، ومن نفى الجهة وأراد بالنفي كون المخلوقات محيطة به أو كونه مفتقرا إليها فهذا حق، لكن عامتهم لا يقتصرون على هذا بل ينفون أن يكون فوق العرش رب العالمين أو أن يكون محمد صلى الله عليه وسلم عرج به إلى الله أو أن يصعد إليه شيء وينزل منه شيء أو أن يكون مباينا للعالم بل تارة يجعلونه لا مباينا ولا محايثا فيصفونه بصفة المعدوم والممتنع وتارة يجعلونه حالا في كل موجود أو يجعلونه وجود كل موجود ونحو ذلك مما يقوله أهل التعطيل وأهل الحلول.
Teks ini terdapat dalam cetakan Mu’assasah Kordoba, cet.1, vol.1, hal.189.
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Mu’assasah Qurthubi
Teks yang diberi garis adalah teks yang lenyap
Teks yang diberi garis adalah teks yang hilang…
“Kalangan yang menafikan lafaz
al-Jihah (arah penjuru) menyebutkan -berdasarkan dalil-dalil mereka-
bahwa semua al-Jihât (arah penjuru) adalah makhluk, sementara Allah
telah ada sebelum adanya al-Jihah. Dan orang yang mengatakan bahwa Allah
berada pada Jihat, sama artinya bahwa bagian dari alam ini ada sesuatu
yang Qadîm (karena Jihat adalah Makhluk/Hâdits), atau pada sisi lain dia
mengatakan bahwa Allah sebelumnya tidak butuh Jihat yang kemudian Dia
berjihat (hal ini sama dengan mengatakan Allah akan eksis bila ada
Jihat, tentunya ini Bathil). Ungkapan-ungkapan ini dan lain sebagainya
mengindikasikan bahwa Allah tidak berada pada sesuatupun (ليس في شيئ)
daripada makhluk-Nya, baik dengan menyebutkan Jihat atau tidak, INI
BENAR. Karena Allah subhanahu wa ta‘ala tidak diliputi oleh makhluk dan
tidak membutuhkannya seumpama ‘Arasy atau selainnya (seperti langit,
kursi). Jika ada kalangan tak terdidik mengira bahwa apabila Allah Nuzûl
ke langit dunia -sebagaimana terdapat dalam hadis- lalu ‘Arasy berada
di atas-Nya dan Dia berada di antara dua komponen alam (di antara langit
dan ‘arasy, atau di antara bumi dan ‘arasy), maka dia telah menyelisihi
konsensus kalangan salaf, al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana telah
tertera di tempat (pembahasannya). Begitu juga sebagian ahli hadis ada
yang bersikap tawaqquf dalam menafikan Jihat, hanyasaja hal itu lantaran
tidak begitu mengetahui makna-makna al-Qur’an, al-Sunnah, dan
statemen-statemen kalangan salaf (Allâhu A‘lam apa yang dimaksudkan oleh
Ibn Taimiyyah dengan statemen ini bahwa ahli hadis tidak mengetahui).
Dan orang yang menafikan Jihat dan bermaksud menafikan Allah diliputi
oleh makhluk atau menafikan bahwa Allah membutuhkannya, MAKA INI ADALAH
BENAR. Namun ada kalangan yang menafikan Jihat, tidak mencukupkan sampai
disini (seperti Mu‘atthilah Mu‘tazilah), bahkan (secara muthlak) mereka
menafikan fawqiyyah Tuhan semesta alam atas ‘Arasy, menafikan mi‘rajnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada-Nya, atau naik atau
turunnya sesuatu dari-Nya (seperti turunnya rahmat), atau di antara
mereka ada yang menafikan keberadaan Allah Mubâyinan terhadap alam,
bahkan terkadang mereka menjadikan Allah tidak Mubâyin/Muhâyits (Mufâriq
-al-Mu‘jam al-Wasîth- atau Muqâbil *berhadapan), sehingga mereka
mensifatinya dengan sifat ketiadaan dan kemustahilan. Dan terkadang ada
yang menjadikan-Nya menempati segala yang mawjûd (seperti al-Murji’ah),
atau mereka menjadikan Allah sebagai wujud dari segala wujud (seperti
al-Muttahidah) dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan Ahl al-Ta‘thîl
dan Ahl al-Hulûl”.
*Begitulah bagaimana Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat dari Allah,
karena konsekuensi Jihat adalah keberadaan Allah diliputi oleh alam,
karena jika Allah berjihat, sementara jihat adalah makhluk ciptaannya,
maka ini adalah hulul, yaitu Allah berada pada jihat. Atau dengan
ungkapan agak menipu logika seperti pada Azali Allah tidak berjihat,
lalu setelah Dia menciptakan makhluk maka Dia berjihat. Benarlah apa
yang diungkapkan Abu Ja‘far al-Thahawi;
لا تحويه الجهات الست
(Allah tidak diliputi enam penjuru; atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri).
Manakala Allah bersifat Baqâ’
(kekal), maka segala sifat-Nya pun turut kekal tanpa berubah Min
Bidâyatin Lâ Awwala Lahâ ilâ Nihâyatin Lâ Âkhira Lahâ. Sementara ada
kalangan yang menganggap hal ini tidak logis dan sama saja mengatakan
Allah itu tiada, karena semua wujud pasti ada jihat. Ungkapan ini adalah
penganalogian Allah dengan makhluk, karena yang terbayang dalam benak
mereka adalah keberadaan diri mereka berada pada jihat, dan mereka juga
ingin mengatakan Allah berjihat seperti wujud mereka, konsekuensi hal
ini adalah keberadaan hadd (batas) bagi Allah, maka cukuplah perkataan
Imam ‘Ali
من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
(siapa yang beranggapan bahwa Allah berbatas dimensi, dia tidak mengenal Allah sang pencipta yang maha disembah)ز
juga ungkapan Abu Ja‘far al-Thahawi
وتعالى عن الحدود والغايات
(Allah maha suci dari batas dan batas akhir -dzat maupun sifat-).
*Ibn
Taimiyyah menafikan konsekuensi nuzul yang berakibat keberadaan-Nya ada
pada dua komponen alam yaitu ‘Arasy dan Langit ke 2,3,4,5,6 dan 7,
karena langit dunia adalah langit pertama. Maka tidak sah jika nuzûl
Allah aadalah Nuzûl berpindah dari atas ke bawah, akan tetapi Nuzûl
sebagaimana layaknya bagi Dzat Allah ta‘âlâ. Jika turun cara makhluk
adalah dari atas ke bawah, maka Nuzûl Allah tidak sebagaimana turunnya
makhluk, karena turun dari atas ke bawah adalah ciri khas makhluk. Oleh karena itu Abu Ja‘far al-Thahawi berkata
من وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
(siapa yang menyifati Allah dengan sebuah makna atau ciri dari ciri-ciri makhluk, maka dia telah ingkar/fasiq).
Begitu juga al-Hâfizh
al-Khithâbî (guru al-Hâfizh al-Hâkim) berkata bahwa Allah tidak disifati
dengan bergerak, perpindah karena dua hal ini adalah ciri-ciri makhluk
(Lihat al-Asma’ wa al-Shifat Baihaqi, cet.Darul Hadis, hal.446),
al-Hafizh al-Baihaqi pun menegaskan bahwa turun dari atas ke bawah
adalah ciri khas makhluk, karena bentuk ini adalah sebuah kayfiyyah, dan
Allah maha suci dari segala kayfiyyah (al-Asma’ wa al-Shifat,hal.466).
Abu Hanifah ketika ditanya tentang Nuzûl, maka beliau jawab ينزل بلا كيف
(Allah nuzul tanpa Kayf, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Karena
segala bentuk gerak adalah Kayf. Lebih dari itu Imam Hammad Ibn Zaid
berkata نزوله إقباله (al-Iqbâl, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447).
Imam Abu Muhammad al-Muzni, juga guru Imam Hakim berkata
المجيئ
والنزول صفتان منفيتان عن الله تعالى من طريق الحركة والانتقال من حال إلى
حال، بل هما صفتان من صفات الله تعالى بلا تشبيه، جل الله تعالى عما يقول
المعطلة لصفاته والمشبهة بها علوا كبيرا
(datang dan turun adalah dua
sifat yang ternafi dari Allah ta‘ala -jika dipahami- dengan bergerak
dan berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain, akan tetapi keduanya
adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah ta‘ala tanpa Antropomorphism,
maha suci Allah dari anggapan Mu‘atthilah (yang menafikan nuzul) dan
dari anggapan Musyabbihah (yang mengatakan nuzul dengan bergerak dan
berpindah, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Inilah pendapat salaf yang telah dikuatkan oleh al-Baihaqi.
Munaqasyah;
Fawqiyyah
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi
menegaskan bahwa Fawqiyyah Allah ta‘ala adalah Fawqiyyah yang bukan
Fawqiyyah Hissiyyah (fawqiyyah fisik/inderawi), karena al-Fawq dan
al-‘Uluw pada Dzat Allah adalah ‘Uluw al-Martabah (al-Hâfizh Ibn
al-Jawzî, Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu
Madzhab al-Imâm Ahmad, al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, hal.41). Fawqiiyah
Hissiyyah adalah sebuah Hadd, Jihât, potensi Tahayyuz, Allah maha suci
dari ciri khas makhluk.
Naiknya amalan shaleh
Al-Hafizh al-Baihaqi telah
menuturkan, bahwa naiknya amal kebaikan adalah sebagai ibarat/istilah
amalan itu diterima oleh Allah dengan baik. Sementara naiknya malaikat
adalah ke tempat mereka di langit, kerena langit adalah tempat mereka.
(lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.425).
Mubâyin/Mujâwir
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi
menegaskan bahwa Mubâyin & Mujâwir (berhadapan antara Allah dan
makhluk dengan Jihat dan Masâfah) mustahil bagi Zat Allah, karena dari
sana Allah akan berbatas dan berjihat. (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh
bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.41).
———————
*Dapat disimpulkan, jika Allah
tidak diliputi oleh Jihât, Masafah, Hadd, maka benarlah sikap
Salafusshaleh; ketika muncul ayat Istiwâ’, mereka tidak memaknainnya
dengan duduk, Julus atau Istiqrar, namun Istiwâ’ yang layak bagi
keagungan Allah. Allah nuzul, tanpa menyerupai makhluk yang harus
berpindah dari atas ke bawah, namun Allah nuzul sebagaimana yang tertera
dalam nash. Dia tidak butuh bergerak. Maka jika ada nash2 mutasyabihat,
hal yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah ungkapan Sufyan Ibn
‘Uyaynah; تفسيره تلاوته/قراءته (tafsirnya adalah bacaan itu sendiri),
tidak
perlu dibuat ungkapan-ungkapan “dari atas ke bawah, duduk, bersemayam,
dll”. Maka madzhab yang lebih benar adalah Madzhab Salaf, yaitu Tafwîdh,
dan dengan tafwidh ini semua syubhat-syubhat Karramiyyah, Hisyamiyyah,
Mujassimah, Musyabbihah, Hasyawiyyah akan terbantahkan. Namun jika ada
sebagian kalangan yang mengingkari Tafwîdz, adakalanya mereka adalah
Musyabbihah, adakalanya Mu‘atthilah.
Rasulullah bersabda; وأنت الظاهر فليس فوقك شيئ، وأنت الباطن فليس دونك شيئ
(Engkau maha Zhahir, maka tiada sesuatu pun di atas-Mu, Engkau maha Bathin, maka tiada sesuatu pun di bawah-Mu).
Al-Hafizh al-Baihaqi
menjelaskan hadis ini; jika di atas maupun di bawah-Nya tiada sesuatu
pun maka Allah tidaklah bertempat (al-Asma’ wa al-Shifat, hal.406).
Seperti Istiwâ’, tidak boleh dipahami dengan Istiqrâr atau menempati
‘Arasy.
Wajar Syeikh al-Albani membantah
Syeikh Abu Zahrah ketika mengatakan bahwa Ibn Taimiyyah mengatakan
bahwa Allah Istiwâ’ dengan makna Istiqrâr, kata beliau;
فأين
رأيت ابن تيمية يقول بالاستقرار على العرش علما بأنه أمر زائد على العلو
وهو مما لم يرد به الشرع ولذلك رأينا مؤلفنا الحافظ الذهبي قد أنكر على بعض
القائلين بصفة العلو التعبير عنها بالاستقرار.
Perhatikan bagaimana Syeikh
al-Albani tidak menyetujui Istiqrâr, lihat (Muhammad Nâshiruddîn
al-Albani, Mukhtashar al-‘Uluw, Beirut: al-Maktab al-Islamî, cet.1,
1401H, hal.41).
“Tipuan logika musyabbihah;
mengatakan Allah tiada berjihat sama saja mengatakan Allah tidak ada.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi menjawab; Jika sebuah wujud dapat disifati dengan
al-ittishâl dan al-Infishâl, maka engkau benar. Namun jika sebuah wujud
tidak disifati dengan keduanya, maka tidak mesti sesuatu wujud itu
menjadi tidak ada (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi
man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.43). Dapat kita contohkan
tentang Ittishal dan Infishalnya dua sifat yang memang tidak dimiliki
oleh sebuah wujud, seperti sebuah BATU. Kita katakan bahwa batu tidak
dapat melihat, di lain sisi batu ini juga tidak buta. Apakah hal ini
kita katakan sebuah kontradiksi sehingga batu itu menjadi mustahil
adanya? Jawabannya tidak, kerena persoalan melihat dan kebutaan bukan
sifat batu. Begitu juga jika dikatakan Allah tidak di luar maupun di
dalam alam, karena luar dan dalam bukan dimensi dan sifat Allah. Lalu
apakah ini sebuah kontradiksi? Jawabannya iya jika hal ini dinisbatkan
kepada makhluk. Karena makhluk tidak terlepas dari dua dimensi ini atau
pun salah satunya, karena pada hakikatnya makhluk adalah alam”.
*Sebelum Allah menciptakan alam, tidak ada istilah luar dan dalam karena Rasulullah bersabda:
كان الله ولم شيئ قبله/غيره
(Allah ada sejak azali, tiada sesuatupun sebelum-Nya/selain-Nya)
‘Ali ibn Abi Thalib berkata:
كان الله ولا مكان
(Allah ada sejak azali tanpa tempat).
Setelah Allah menciptakan alam, Dia tetap sebagaimana ada-Nya, sebagaimana ‘Ali bin Abi Thalib berkata:
وهو الآن على ما عليه كان
(Dia sekarang ada sebagaimana adanya -pada azali-).
Mari kita pahami, dan kita bedakan istilah بالنسبة إلى الله dan بالنسبة إلى المخلوق. Tidak adanya dimensi luar
dan dalam sangat mustahil Bi al-Nisbah ilâ al-Makhlûk. Namun ketiadaan
keduanya tidak mustahil Bi al-Nisbah ilâ Allah subhânahû wa ta‘âlâ,
karena jika Allah tidak menghendaki adanya makhluk maka Allah akan tetap
sebagaimana adanya, begitupun jika Allah menghendaki untuk melenyapkan
alam, Dia akan tetap sebagaimana adanya tanpa Jihat, Ruang dan Waktu.
Dimensi luar dan dalam mengikut kepada makhluk, maka jika makhluk atau
alam dilenyapkan oleh Allah, dua dimensi ini pun akan lenyap. Untuk
pendekaan memahami ini, dalam Fiqh ada sebuah kaedah kulliyyah yang
tidak menyentuh hal-hal juz’iyyah, yaitu kaedah ke empat yang berbunyi التابع تابع (sesuatu yang mengikut, pasti mengikuti-yang diikuti-, lihat al-Mawâhib al-Saniyyah),
dalam hal ini dimensi luar maupun dalam adalah al-Tâbi‘u, sedangkan
status keduanya adalah sebagai Tâbi‘un kepada alam. Dari sini dapat kita
pahami perbedaan antara Khalik dengan Makhluk.
Ibnu ‘Abbas berkata, ليس في الدنيا مما في الجنة إلا الأسماء, dan nash lainلا يشبه شيءٌ مما في الجنة ما في الدنيا إلاألأسماء
(tiada sesuatu pun perserupaan antara apa yang ada di dunia dengan apa yang ada di surga melaikan hanya nama).
Manakala antara sesama makhluk
hanya ada perserupaan nama saja, maka antara khalik dan makhluk lebih
utama untuk itu. Begitulah Istiwâ’, Nuzûl, Wajah, Yad, ‘Ain. Jangan kita
bersikap ghuluw dalam Itsbat, metode salaf adalah paling baik, yaitu
menyerahkan maksudnya kepada Allah sembari mengimani, tanpa Takyîf. Maka
janganlah hendaknya kita mengharapkan agar Ahwâl Allah serupa dengan
kita, harus berjihat, berdimensi ruang dan waktu, Allah maha suci dari
ini semua. Jangan kita mengkhianati Lisan yang berkata:
بلا كيف, بلا تكييف, وكيف عنه مرفوع
namun pemahaman kita tetap
memberikan Kaifiyyah kepada Allah meski tidak kita sadari. Apalagi jika
Lisan kita sering mengucapkan firman Allah ليس كمثله شيئ,
namun pada prakteknya pemahaman kita tetap memberikan Tasybiih kepada
Allah meski tidak kita sadari. Sudah cukup kiranya kefasihan al-Qur’an
yang menampilkan penafian perserupaan dengan menggunakan dua adat
Tasybîh dalam ayat itu, yaitu الكاف dan مثل, Semoga kita dapat diberi pemahaman oleh Allah subhanahu wa ta‘ala. Amin
مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك
Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar